Selasa 24 Nov 2020 18:02 WIB

Sosiolog Kupas Sisi Positif-Negatif Budaya Kafe

Kebiasaan masyarakat ke kafe muncul dipengaruhi adanya budaya pop.

Sejumlah pengunjung menikmati suasana di salah satu kafe yang baru dibuka di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (7/11/2020). Meskipun bisnis sempat lesu karena pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, pemerintah setempat memberi izin kembali usaha kafe baik yang lama maupun yang baru untuk beroperasi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Foto: Antara/Basri Marzuki
Sejumlah pengunjung menikmati suasana di salah satu kafe yang baru dibuka di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (7/11/2020). Meskipun bisnis sempat lesu karena pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, pemerintah setempat memberi izin kembali usaha kafe baik yang lama maupun yang baru untuk beroperasi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Sosiolog Universitas Udayana Wahyu Budi Nugroho, mencermati pertumbuhan kedai kopi di masa pandemi Covid-19. Menurutnya, fenomena itu berpeluang memunculkan budaya baru di lingkungan masyarakat.

"Tentu (munculkan budaya baru), yaitu budaya kafe dan sudah banyak penelitian mengenai ini," ujar Budi.

Baca Juga

Dalam banyak hal, menurut Budi, coffee shop mampu merepresentasi karakter profesional muda dan anak-anak muda. Simbol-simbol yang ditunjukkan kafe kerap berasosiasi pada jiwa muda, produktivitas, dinamis, gaul, mapan, cerdas, elegan, dan sukses.

"Yang nantinya dapat membentuk budaya baru," ucap Wahyu saat dihubungi melalui telepon di Denpasar, Selasa.

Wahyu menjelaskan bahwa dalam budaya kedia kopi ini terdapat permainan simbol-simbol atau karakter yang dapat mengundang minat anak muda mengunjunginya. Pada masanya nanti akan membentuk arus kecil budaya baru atau subkultur.

Menurut Wahyu, hal ini dipengaruhi karena adanya budaya pop. Salah satunya, seperti film-film dari luar negeri maupun dalam negeri selalu menampilkan adegan-adegan dengan latar kafe atau tokoh utamanya akrab dengan kafe, seakan kafe tidak lepas dari keseharian hidup mereka.

"Ada dua hal yang saya lihat dari fenomena ini. Pertama, kebutuhan para pekerja urban akan tempat atau ruang kerja (working space), kedua dapat memunculkan "masyarakat tontonan", ketiga menjadi tujuan untuk panjat sosial," ucap Wahyu.

Fenomena ini dapat menjadi kebutuhan bagi para pekerja urban yang mencari tempat untuk bekerja dan bisa memberikan nuansa baru sehingga dapat mereduksi kejenuhan kerja. Selain itu, mereka mencari yang dirasa cukup menghibur untuk mengurangi tekanan target-target kerja.

"Ini agaknya juga berlaku bagi para mahasiswa yang memiliki banyak tugas atau sedang dalam tekanan menyelesaikan skripsi," katanya.

Sementara itu, di era teknologi informasi ini, kedai kopi dapat memunculkan apa yang disebut sebagai “masyarakat tontonan”, yaitu kultur baru masyarakat untuk selalu mengunggah aktivitas atau berbagai komoditas yang dikonsumsinya di media sosial. Salah satu bentuk "masyarakat tontonan" itu berupa panjat sosial atau menunjukkan status sosial.

Wahyu menyebut, mengunggah foto sedang berada di kafe setidaknya bisa memenuhi kepentingan ini. Selain itu, kafe juga merupakan kultur kelas menengah, dengan menu makanan atau minuman yang ditawarkannya pun biasanya juga tidak murah.

Dari fenomena ini tentu ada dampak negatif dan positifnya bagi masyarakat, yang memiliki ketertarikan pergi ke kedai kopi. Negatifnya ialah membuat lebih boros dan konsumtif.

"Sementara dampak positifnya, kafe bisa memberikan nuansa baru, memberikan inspirasi, dan sejenak melupakan penatnya keseharian hidup yang mekanistis," kata Wahyu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement