Senin 30 Dec 2019 07:15 WIB

Peneliti: Migrain Muncul Sehari Setelah Kurang Tidur

Migrain muncul sehari setelah tidur hanya 6,5 jam atau kurang.

Rep: Febryan A/ Red: Nur Aini
Migrain (ilustrasi)
Migrain (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Riset terbaru yang dipublikasikan di jurnal Neuroloy menemukan bahwa gangguan tidur bisa menjadi pemicu migrain atau sakit kepala sebelah. Namun, migrain baru akan terasa setelah sehari berselang.

"Kami menemukan bahwa efisiensi tidur yang rendah, yakni jumlah waktu Anda bangun di kasur saat berupaya tidur, berkaitan dengan migrain. Namun migrain tidak segera muncul pada hari itu, melainkan sehari setelahnya," kata Dr. Suzanne Bertiach, co-author riset dan dokter spesialis tidur di Brigham and Women's Hospital, Boston, Amerika Serikat.

Baca Juga

Dilansir dari health24, Senin (30/12), Bertiach dan kawan-kawan melakukan riset itu dengan merekam aktivitas tidur, migrain dan kebiasaan kesehatan pada 98 orang dewasa. Mereka adalah orang yang mengalami migrain sebanyak 2 hingga 15 kali per bulan.

Detail aktivitas meraka direkam selama enam pekan. Guna merekam pola tidur mereka, sebuah alat perekam dipasang di pergelangan tangan mereka masing-masing.

Hasilnya, selama enam pekan itu, total semua partisipan mengalami migrain sebanyak 870 kali. Peneliti pun mengolah data itu dengan data pemicu migrain lainya seperti konsumsi kafein, alkohol, aktivitas fisik, dan tingkat stres.

Para peneliti itu pun menyimpulkan bahwa tidur 6,5 jam atau bahkan kurang saat malam hari ternyata tidak terkait dengan migrain baik itu pada siang harinya ataupun pada keesokan harinya. Namun, gangguan tidur bisa dikaitkan atau jadi pemicu meningkatnya risiko migrain pada sehari setelahnya.

Bertisch megatakan, ia bersama rekan-rekannya tertarik membuat riset itu lantaran banyak pasien migrain yang meminta bantuan untuk mengatasi insomnia yang juga dialami. "Siapapun yang merawat pasien ingin memberikan nasihat untuk mengurangi migrain, namun literatur belum memberikan petunjuk jelas tentang intervensi tidur seperti apa yang bisa mengatasinya," ujarnya.

Meski demikian, peniliti menyatakan masih butuh riset lanjutan untuk memahami kaitan fragmentasi tidur dan risiko migrain sebelum mengembangkan strategi pencegahannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement