Selasa 26 Nov 2019 20:00 WIB

Penderita Vitiligo Rentan Depresi, Mengapa?

Banyak penderita vitiligo yang mengalami depresi.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Penyakit vitiligo (ilustrasi)
Foto: Mega Bored
Penyakit vitiligo (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vitiligo sesungguhnya  tidak mengancam jiwa dan tidak menular. Penyakit hilangnya warna kulit ini juga tidak menyebabkan gejala-gejala yang mengganggu seperti gatal atau perih pada kulit.

"Tapi mengapa penting untuk mengetahui vitiligo?" tanya spesialis kulit dan kelamin dari Klinik Spesialis Kulit dan Kelamin Pramudia dr Dian Pratiwi SpKK FINSDV FAADV, di Jakarta.

Baca Juga

Salah satu alasannya, menurut Dian, adalah vitiligo cukup berkaitan erat dengan depresi. Dian mengatakan, tak sedikit pasien vitiligo yang ia temui menunjukkan gejala depresi. Apalagi, bila pasien tersebut memiliki profesi yang mengharuskan ia untuk tampil atau bertemu dan dilihat orang lain.

"Banyak loh yang sampai nggak kerja lagi, mengurung diri, itu banyak," jelas Dian.

Studi yang dimuat pada British Journal of Dermatology pada 2017 juga membuktikan adanya keterkaitan antara vitiligo dan depresi. Studi yang menganalisis 2.708 kasus vitiligo ini menemukan bahwa pasien vitiligo memiliki odds ratio depresi sebesar 5,05 bila dibandingkan dengan kelompok kontrol yang berisikan orang-orang tanpa vitiligo.

"Artinya, pasien vitiligo memiliki kemungkinan lima kali lipat lebih besar untuk terkena depresi dibandingkan yang tidak (vitiligo)," ungkap Dian.

Oleh karena itu, Dian menekankan pentingnya tata laksana yang baik untuk pasien vitiligo agar tidak jatuh depresi. Penatalaksaan yang baik akan sangat bermanfaat mengingat vitiligo adalah penyakit yang diderita seumur hidup.

"Vitiligo bersumbangsih besar untuk depresi ini, jadi harus dikendalikan dengan baik," ujar Dian.

Demi mencegah terjadinya depresi, sebagai dokter spesialis kulit Dian tak hanya memberikan modalitas terapi yang sesuai untuk pasien vitiligo. Bila diperlukan, Dian juga merujuk pasien vitiligo untuk berkonsultasi dengan psikolog. Terlebih, bila pasien tersebut menunjukkan gejala-gejala depresi yang sampai menghambatnya untuk berfungsi secara optimal dalam keseharian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement