REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perhimpunan Orang tua Penderita Thalassaemia Indonesia (POPTI) menyebut pengidap talasemia atau kelainan genetika menduduki peringkat empat besar sebagai pengguna anggaran BPJS Kesehatan. Karena itu, yayasan tersebut menilai talasemia harus ditangani secara serius.
“Talasemia merupakan penyedot anggaran terbanyak peringkat keempat BPJS, belum lagi pas dewasa,” kata salah satu petinggi POPTI Puspasari dalam talk show and screening Thalassaemia di Kantor Wali Kota Jakarta Timur, Ahad (27/10).
Ketika seseorang terdiagnosis talasemia, maka dia harus melakukan transfusi darah seumur hidup. Jangka waktu transfusi darah berbeda-beda, tergantung berat badan pasien. Frekuensinya bisa dua pekan sekali atau sebulan sekali.
Puspa mengatakan, proses perawatan dan pengobatan talasemia membutuhkan biaya yang mahal. Dia pun menyarankan agar generasi milenial lebih baik mencegah daripada mengobati, yakni dengan tidak menikah dengan sesama carrier (pembawa gen) talasemia.
Kendati BPJS Kesehatan mencakup sebagian biaya pengobatan talasemia, pencegahan dini seperti yang dianjurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) perlu dilakukan. Puspa mengatakan, talasemia terbagi menjadi tiga jenis, yakni intermediate (pembawa sifat atau gen bawaan talasemia), minor (talasemia ringan yang tak terlalu perlu transfusi darah), dan mayor (orang yang butuh transfusi darah seumur hidup).
Perawatan talasemia tak serta merta selesai dengan transfusi darah. Sebab, transfusi darah kerap kali menyebabkan permasalahan kelebihan zat besi pada pengidap. Jika kondisi tersebut tidak ditangani, maka dapat menyebabkan komplikasi pada orang dengan talasemia.
Puspa mengatakan, penderita talasemia butuh minum obat kelasi besi seumur hidup. Harga obat tersebut cukup mahal, yakni Rp 5 juta untuk 100 butir. Dalam satu hari, penderita talasemia bisa minum sebanyak empat hingga lima obat, tergantung berat badan pasien.