REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) mengungkap 90 persen gangguan penglihatan terjadi di wilayah penduduk berpenghasilan rendah. “Saat ini kurang lebih 90 persen ganggguan penglihatan terdapat di wilayah penduduk berpenghasilan rendah,” kata Ketua PP Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) dr. M. Siddik, Sp. M, saat temu media mengenai Hari Penglihatan Sedunia, di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ditulis Selasa (8/10).
Selain itu, dia menambahkan, ketergantungan pada gawai diduga menambah penderita myopia mata minus. Hal tersebut diakibatkan karena jarak penglihatan ke gawai terlalu dekat dan terus-menerus. Dampaknya kesehatan mata berkurang.
Hal serupa juga rawan terjadi pada seseorang yang bekerja di depan layar komputer. Ia menyebutkan, gangguan penglihatan bisa mengakibatkan kebutaan.
"82 persen kebutaan terjadi pada usia 50 tahun atau lebih," ujarnya.
Kendati demikian, ia tidak menampik gangguan penglihatan bisa menyerang semua umur termasuk bayi dan balita. Mereka merupakan salah satu kelompok berisiko terhadap gangguan penglihatan.
Ia menjelaskan, diperkirakan pengeluaran rata-rata per pasien yang mengalami kebutaan adalah hampir dua kali lipat dari biaya lainnya dan untuk buta dengan dua mata diperkirakan akan mengeluarkan biaya berkisar 12.175 – 14.029 dolar AS atau sekitar Rp 170 juta sampai dengan Rp 196 juta. Belum lagi ditambah dengan biaya tidak langsung yang cukup besar karena kerugian produktivitas.
Sebenarnya 80 persen gangguan penglihatan termasuk kebutaan dapat dicegah dan ditangani. Misalnya dalam menggunakan komputer gunakan rumus 20 20 20, artinya 20 menit bekerja, 20 menit istirahat sambil melihat jarak jauh dengan jarak 20 kaki.
Siddik meminta gangguan penglihatan dan kebutaan ini bisa diatasi. Sebab, fenomena ini bisa mengancam usia harapan hidup (UHH) yang leningkat. Rata-rata UHH meningkat dari usia 63 tahun pada 1990 mejadi 69 tahun pada tahun 2017 lalu. Ini artinya peningkatan usia harapan hidup akan berdampak pada peningkatan penyakit–penyakit degeneratif.
"Dampaknya akan terjadi peningkatan kasus katarak, dan gangguan penglihatan lainnya yang diakibatkan oleh penyakit degeneratif seperti Diabetes Melitus dan Glaukoma," ujarnya.
Karena itu, ia meminta perlu ditingkatkannya kepedulian terhadap ancaman gangguan penglihatan terutama kebutaan yang dapat dicegah. Skrining dan deteksi dini kunci utama menemukan kasus sedini mungkin dengan intervensi yang tepat.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Anung Sugihantono mengatakan gangguan penglihatan dengan penyebab lainnya seperti Glaukoma, retinopati Diabetikum, Retinopathy of Prematurity (ROP) dan low vision menjadi prioritas program Kemenkes saat ini.
"Glaukoma dan retinopati diabetikum dijadikan prioritas mengingat meningkatnya angka penyandang diabetes mellitus (DM)," ujarnya.
Ia menambahlan, diperkirakan 1 dari 3 penderita diabetes berisiko terkena Retinopati Diabetikum, dan pasien dengan DM memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat retinopati. Penyakit–penyakit tidak menular merupakan salah satu faktor risiko gangguan penglihatan dan kebutaan.
“Pemerintah terus melakukan edukasi kepada masyarakat terhadap pencegahan gangguan penglihatan (katarak), juga deteksi dini di Fasyankes (Fasilitas Layanan Kesehatan) primer terintegrasi dengan penyakit tidak menular lainnya,” katanya.