Ahad 06 Oct 2019 06:19 WIB

Joker: Sebuah Kontemplasi Pembenaran Sang Pangeran Badut Kejahatan

Joker merupakan korban dari bobroknya moralitas dan ketidakadilan masyarakat.

Rep: Thomas Rizal (cek n ricek)/ Red: Thomas Rizal (cek n ricek)
Joaquin Phoenix dalam film Joker.
Foto: Warner Bros via AP
Joaquin Phoenix dalam film Joker.

Ceknricek.com -- Merinding. Itulah tampaknya kata yang tepat untuk menggambarkan film Joker, yang secara perdana tayang di bioskop-bioskop Indonesia pada Rabu (2/10). Perasaan seperti itu mungkin juga dirasakan para penonton yang memberi penghormatan standing oviation selama 8 menit, saat pemutaran perdana film pada ajang Venice Film Festival akhir Agustus lalu. Joker sendiri sukses memenangkan penghargaan Golden Lion, penghargaan tertinggi di ajang tersebut.

Lupakan sejenak perseturuan klasik antara Sang Pangeran Badut Kejahatan, Joker dengan Sang Kesatria Kegelapan, Batman. Film ini akan fokus pada seorang penderita gangguan mental bernama Arthur Fleck, dan bagaimana dirinya bertransformasi menjadi salah satu karakter paling fenomenal sepanjang sejarah komik garapan DC Comics.

Baca: Sekali Lagi, Jangan Ajak Anak Nonton Joker

Disutradarai oleh Todd Phillips yang selama ini dikenal akan film-film komedinya seperti The Hangover Trilogy dan Due Date, Joker mampu menyajikan antitesis dari film-film berbasis dunia komik seperti Marvel dan DC, yang selama ini identik dengan film aksi penuh efek visual. Joker masuk kategori film psychological thriller, dengan bumbu dark comedy yang merupakan andalan Phillips.

Dalam film berdurasi total 122 menit itu, penonton akan dibawa ke dalam isi kepala, hati, dan jiwa seorang Arthur. Keberhasilan Phillips menggiring penonton ke dalam dunia Arthur tak lepas dari keberhasilan Phillips menggambarkan kota Gotham di era 80-an, kota metropolitan yang sedang sakit karena krisis ekonomi, politik, dan kepercayaan.

Angkat topi untuk performa Joaquin Phoenix dalam memainkan Arthur. Totalitas seorang Phoenix dalam mempersiapkan karakter, mempelajari buku pembunuhan politik, melatih tawa para penderita pathological laughter, hingga menurunkan berat badan sekitar 24 kilogram, terbayar penuh dengan penampilan 100 persen seorang Phoenix.

Korban Kerusakan Masyarakat

Tentunya sulit memainkan karakter yang begitu legendaris. Khususnya setelah para penggemar setia Batman memiliki benchmark dari Joker melalui aktor-aktor sebelumnya, Jack Nicholson (Batman, 1989) dan Heath Ledger (The Dark Knight, 2008).

Jika boleh membandingkan dengan dua aktor legendaris itu, dalam film ini Phoenix mampu menghadirkan Joker sebagai sosok dengan karakter yang berbeda. Ketika Nicholson sukses menunjukkan sisi kekonyolan seorang Joker, Ledger sukses menampilkan sisi kecerdasan seorang criminal mastermind, maka Phoenix mampu menunjukkan sisi Arthur, yang tak lain adalah sisi manusiawi dari seorang Joker.

Penonton akan terenyuh melihat bagaimana Gotham memperlakukan Arthur, yang menjelaskan bagaimana pada akhirnya Arthur memperlakukan Gotham di masa depan, yakni sebagai Joker yang kita kenal selama ini. Penonton akan diajak memahami sudut pandang, perasaan, dan motivasi seorang Arthur, yang sebenarnya merupakan korban dari bobroknya moralitas dan ketidakadilan masyarakat.

Meski tak sepenuhnya menampilkan sosok Batman sebagai pahlawan pemberantas kejahatan, film ini akhirnya menjelaskan bagaimana Batman dan Joker tak bisa dipisahkan. Film ini menampilkan sosok Bruce Wayne kecil yang diperankan oleh Dante Pereira-Olson, serta Thomas Wayne yang diperankan Brett Cullen.

Kehadiran aktor kawakan sekelas Robert De Niro sebagai Murray Franklin, pembawa acara dan komedian yang mempengaruhi keputusan Arthur; Zazie Beetz sebagai Sophie Dumond tetangga di apartemen tempat Arthur tinggal; serta Frances Conroy sebagai Penny Fleck, ibu dari Arthur, menambah lengkap latar belakang kehidupan seorang Joker.

Pada akhirnya, film dengan anggaran sekitar US$64 juta itu menjadi kontemplasi dari kehidupan seorang Joker. Bahwa hidupnya yang sebenarnya merupakan tragedi ternyata hanyalah sebuah komedi yang mungkin tak dimengerti bagi sebagian orang. Kisah Arthur Fleck ini menjadi pembenaran dari apa yang dilakukan Joker, bahwa Joker ialah korban dari kerusakan masyarakat, dan justru akhirnya menjadi pahlawan karena berani bertindak.

Meski dari jauh-jauh hari Phillips sudah memastikan bahwa film ini tidak memiliki sekuel (standalone), serta Phoenix yang berkomitmen tidak akan menggunakan riasan badut lagi, Joker (2019) sukses menjadi kunci yang membuka sisi lain dari dunia Batman.

BACA JUGA: Cek Berita SELEBRITI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ceknricek.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ceknricek.com.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement