Jumat 12 Oct 2018 02:46 WIB

Efek Vape Lebih Buruk dari Rokok Biasa? Ini Penelitiannya

Bahan perasa dalam fape dapat merusak paru-paru.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nur Aini
Vape (ilustrasi)
Foto: Youtube
Vape (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Penelitian terbaru menemukan bahaya vaping atau rokok elektronik yang lebih tinggi dibandingkan merokok secara konvensional. Bahan perasa dalam rokok elektronik dapat merusak paru-paru dengan cara memicu peradangan.

Tim dari Yunani bahkan menyebut meski penggunaan berlangsung dalam jangka pendek dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah atau sama dengan penggunaan dalam waktu lama. Dalam percobaan yang dilakukan kepada tikus, ditemukan zat aditif termasuk perasa yang menyebabkan peradangan paru-paru.

"Efek merugikan yang diamati pada paru-paru akibat paparan uap rokok elektronik pada model hewan menyoroti perlunya penyelidikan lebih lanjut tentang keamanan dan toksisitas perangkat yang berkembang pesat di seluruh dunia ini," ujar penulis penelitian Dr Constaninos Glynos dilansir di The London Economic, Jumat (12/10).

Mereka menyimulasikan merokok dengan rokok biasa dengan rokok yang menyeluarkan uap berasal dari bahan kimia cair dalam cartridge isi ulang yang biasanya mengandung propilen glikol, nikotin, dan perasa. Propilena glikol adalah aditif yang tidak berwarna dan tidak berbau dan ditemukan dalam berbagai makanan dan minuman olahan. Bahan itu juga digunakan sebagai pelarut dalam sejumlah obat-obatan.

Temuan yang dipublikasikan dalam American Journal of Physiology-Lung Cellular menunjukkan rokok elektronik dan isi ulangnya tidak daitur dengan baik. Efek jangka panjang terhadap kesehatan masih belum diketahui.

Para peneliti lalu membandingkan beberapa kelompok tikus yang menerima paparan asap e-rokok dengan berbagai kombinasi kimia empat kali dalam sehari. Setiap sesi dipisahkan interval bebas asap selama 30 menit.

"Rokok elektronik diiklankan sebagai sistem pengiriman nikotin yang kurang berbahaya atau menggantikan rokok yang lama. Namun dalam temuan kami menunjukkan bahwa paparan rokok elektronik dapat memicu respon inflamasi dan memengaruhi mekanika sistem pernapasan. Dalam banyak kasus, rasa tambahan pada rokok elektronik memperparah efek merugikan dari vapor tersebut," ujar Dr Glynos.

Beberapa hewan di masing-masing pihak menjalani percobaan selama tiga hari (jangka pendek) dan yang lain empat minggu (jangka panjang). Ada peningkatan peradangan, produksi lendir dan fungsi paru-paru berubah di tiga kelompok yang menerima paparan rokok elektronik setelah tiga hari. Tetapi mereka yang mendapat propilen glikol saja menunjukkan lebih sedikit efek negatif dengan paparan jangka panjang.

Dr Glynos, dari Universitas Athena, mengatakan hal itu menunjukkan aditif hanya menimbulkan iritasi sementara yang akhirnya reda dengan penggunaan terus. Selain itu, dua protein penghasil peradangan menjadi meningkat pada kelompok dengan zat perasa. Itu berarti beberapa komponen penyedap di pasaran mungkin tidak aman untuk digunakan dalam jangka pendek.

Kondisi kelompok rokok elektronik membuat khawatir para peneliti. Tingkat stres oksidatif atau kerusakan pada tingkat sel pada mereka yang terkena perasa sama atau lebih tinggi dari pada kelompok rokok. Namun, mekanika pernapasan terpengaruh hanya pada tikus yang terpapar asap rokok dan bukan untuk uap rokok elektronik setelah perawatan yang lama.

"Kami menyimpulkan bahwa baik e-cig vaping dan merokok rokok konvensional berdampak negatif terhadap biologi paru-paru," lanjutnya.

Penemuan itu melanjutkan penelitian Inggris awal tahun ini yang juga menyarankan vaping lebih berbahaya daripada yang diperkirakan sebelumnya. Penelitian itu menemukan beberapa efek yang mirip dengan yang terlihat pada perokok dan orang-orang dengan penyakit paru-paru kronis serta meningkatkan produksi bahan kimia inflamasi dalam tubuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement