REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sederet supermodel menerapkan pengaturan pola makan alias diet ketat yang mengurangi jumlah kalori dan karbohidrat. Dalam sehari, kalori yang boleh diasup hanya sejumlah 1.300, dengan membatasi dan menjauhi alkohol, roti, makanan terproses, gula, garam, dan gluten.
Pakar diet klinis dari The Harley Street Clinic Hospital, Sarah Ballis, mengkritisi hal tersebut. Dia menjelaskan bahwa diet demikian mendorong tubuh hingga tingkatan ketosis, di mana tubuh akan membakar lemak untuk energi.
Diet supermodel yang dia komentari mengatur agar si model makan lima porsi kecil per hari setiap tiga jam sekali. Memang terdengar sehat karena kaya protein, buah, dan sayuran, tetapi diet itu tidak sehat dalam jangka panjang.
Pembatasan kalori dan pemotongan karbohidrat secara drastis menurutnya berpotensi membuat berat badan kembali bertambah di masa mendatang. Isyarat lapar tidak dapat diabaikan tanpa batas. Pembatasan juga dapat menyebabkan berkurangnya tingkat energi.
Konsekuensi serius lain adalah kondisi malnutrisi, juga penyakit batu empedu, disfungsi tiroid, osteoporosis, anemia, sembelit, depresi, gagal jantung, dan penyakit ginjal. Dari perspektif mental, pembatasan kalori bisa mengarah pada kecemasan dan kerusakan otak.
Selain itu, diet ketat dapat memicu dysmorphia tubuh dan gangguan makan. Karena masih perlu memperoleh energi, tubuh beralih dengan memproses lemak sebagai bahan bakar dan menghasilkan keton yang bersifat asam dan menumpuk di aliran darah.
Hal itu memicu bau mulut, sakit kepala, perubahan suasana hati, juga mengarah ke kondisi berbahaya dan mengancam jiwa yang disebut ketoacidosis. Efek lain yaitu rasa lelah, lemas, dehidrasi, sembelit, juga defisiensi vitamin dan mineral.
Ballis justru merekomendasikan untuk memperbanyak konsumsi gandum, karbohidrat tepung, kacang-kacangan, protein tanpa lemak, ikan, susu, buah, dan sayuran. Jika ingin mengendalikan berat badan, cara terbaik adalah mengatur porsinya bukan menghilangkannya.
"Pendekatan penurunan berat badan jangka panjang yang sukses adalah dengan berfokus pada pilihan makanan sehat. Mendorong hubungan positif dengan makanan, bukan dengan aturan pembatasan yang negatif," kata Ballis, dikutip dari laman Express.