REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan di masa kanak-kanak tak hanya dapat meninggalkan trauma psikologis pada seseorang. Riwayat kekerasan di masa kanak-kanak juga dapat membuat perempuan lebih rentan mengalami endometriosis atau kista coklat.
Hal ini diungkapkan oleh dua kelompok peneliti berbeda di Eropa dan Amerika. Tim yang melakukan penelitian di Eropa menemukan perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual maupun kejahatan emosional memiliki peningkatan risiko endometriosis sebesar 20-50 persen.
Tim yang melakukan penelitian di Amerika juga menemukan hal serupa. Mereka mengungkapkan ada peningkatan risiko endometriosis pada perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual maupun kekerasan fisik saat masih anak-anak.
"Penganiayaan di masa kanak-kanak seringkali merupakan faktor risiko berbagai penyakit pada orang dewasa yang diremehkan dan tidak ditelusuri," jelas peneliti senior dari tim yang melakukan penelitian di Eropa, Dr Brigitte Leeners, seperti dilansir Reuters, RBU (1/8).
Lebih rinci, perempuan dengan riwayat kekerasan fisik saat kecil memiliki risiko endometriosis 10 persen lebih besar dibandingkan perempuan yang tidak memiliki riwayat penganiayaan di masa kecil. Sedangkan perempuan dengan riwayat kekerasan seksual di masa kecil meMiliki risiko endometriosis lebih tinggi, yaitu 15 persen.
Perempuan yang memiliki riwayat kekerasan seksual dan fisik di masa kanak-kanak memiliki risiko endometriosis yang lebih tinggi. Risiko pada kelompok ini bisa mencapai 31 persen.
Tim peneliti mengatakan durasi dan tingkat keparahan penganiayaan di masa kanak-kanak juga memegang peranan yang signifikan. Perempuan yang mengalami kekerasan seksual berat sejak masa kanak-kanak hingga remaja memiliki peningkatan risiko endometriosis sebesar 49 persen. Kombinasi berbagai penganiayaan berat di masa kecil yang berlangsung lama dapat membuat perempuan menghadapi risiko endometriosis yang lebih tinggi lagi, yaitu 79 persen.
Tim peneliti menilai trauma dan stres akibat penganiayaan mempengaruhi respon stres pada perempuan. Kondisi ini membuat perempuan menjadi lebih sensitif terhadap lesi endometriosis.
"Ini dikarenakan respons psikologis yang digerakkan oleh stres dan trauma akibat penganiayaan," terang ketua penelti dari tim studi Amerika, Holly Harris.
Meski ada kaitan antara riwayat penganiayaan di masa kanak-kanak dengan peningkatan risiko endometriosis, bukan berarti semua perempuan yang mengalami endometriosis pernah mengalami penganiayaan di masa kecil. Melalui temuan ini, tim peneliti juga berharap intervensi dini dapat dilakukan untuk mengurangi konsekensi negatif dari penganiayaan di masa kanak-kanak.
"Sebagai contoh, berbagai bentu psikoterapi juga dapat menurunkan risiko endometriosis, akan tetapi, ini perlu dikonfirmasi penelitian lebih jauh," ungkap Leeners.