REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai terobosan dalam tata laksana penyakit jantung dan pembuluh darah berkembang pesat di Indonesia. Teknologi intervensi kardiologi, terapi gangguan irama jantung, hingga perawatan kasus kompleks kini tersedia di banyak rumah sakit dalam negeri. Perkembangan ini tidak hanya meningkatkan kualitas layanan, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai calon destinasi medis di kawasan.
Presiden Direktur & CEO Brawijaya Hospital Group, Devin Wirawan, menjelaskan bahwa kapasitas dokter Indonesia saat ini jauh lebih maju dibanding beberapa dekade lalu. Banyak prosedur yang sebelumnya dianggap harus dilakukan di luar negeri kini dapat ditangani oleh dokter lokal dengan hasil yang kompetitif.
“Tujuan kami adalah menyediakan ruang bagi dokter-dokter hebat Indonesia untuk bertumbuh dan berinovasi. Kami ingin memperkuat kepercayaan masyarakat bahwa kualitas kesehatan di Indonesia setara dengan luar negeri,” ujar Devin dalam Cardiac Forum Jakarta 2025 Symposium yang mengusung tema Current Breakthrough in Cardiovascular Diseases Management: A Team-Approach Fashion.
Ia menyebut sejumlah kasus pasien luar negeri yang akhirnya dapat ditangani dokter Indonesia setelah gagal memperoleh hasil optimal di negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas layanan kesehatan Indonesia mulai mendapatkan pengakuan internasional.
Salah satu perkembangan signifikan terlihat pada prosedur Percutaneous Coronary Intervention (PCI) modern. Dr. Todung Donald Aposan Silalahi, Konsultan Kardiologi Intervensi, memaparkan bahwa teknologi pemasangan stent kini jauh lebih maju dan presisi.
“Bukan sekadar kateterisasi. Kami menggunakan IVUS, FFR, rotablasi untuk kalsifikasi berat, hingga stent berkualitas tinggi,” jelasnya.
Ia mencontohkan kasus chronic total occlusion, sumbatan pembuluh darah hingga 100 persen, yang kini bisa ditangani dengan tingkat keberhasilan tinggi berkat alat yang semakin lengkap. Beberapa pasien, katanya, bahkan kembali dari Penang setelah gagal ditangani dan justru berhasil diperbaiki di Indonesia.
Perkembangan teknologi juga terjadi pada penanganan Atrial Fibrillation (AF), salah satu gangguan irama jantung paling berbahaya. Konsultan Elektrofisiologi, dr. Simon Salim, menjelaskan bahwa AF sering tidak bergejala tetapi dapat meningkatkan risiko stroke hingga lima kali lipat.
“Tidak semua yang berdebar itu aritmia, dan tidak semua aritmia terasa berdebar,” ujarnya.
Faktor risiko AF mencakup usia di atas 40 tahun, hipertensi, diabetes, obesitas, kurang aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol. Di Brawijaya, terapi terkini seperti Radiofrequency Ablation, Cryoballoon Ablation, hingga teknologi terbaru Pulsed-Field Ablation (PFA) sudah tersedia.
“Dulu ablasi dianggap harus ke luar negeri. Sekarang prosedurnya sama persis, alatnya sama, dan dokternya pun sudah training internasional,” tambah dr. Simon.
Ia mendorong masyarakat untuk lebih peka terhadap detak jantung—mulai dari meraba nadi hingga memanfaatkan smartwatch yang kini dapat mendeteksi aritmia. Jika keluhan tidak menetap, pasien bisa menggunakan alat EKG 24 jam untuk memantau irama jantung.