REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Tren gangguan irama jantung tampak terus meningkat, baik di Indonesia maupun dunia. Bila tak terdiagnosis dan dibiarkan begitu saja, pasien gangguan irama jantung bisa berisiko mengalami komplikasi yang lebih serius atau bahkan mematikan.
Gangguan irama jantung atau aritmia terjadi ketika sinyal listrik yang mengoordinasikan detak jantung tidak bekerja dengan baik. Pada gangguan irama jantung, detak jantung pasien bisa terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur.
"(Jenis) aritmia yang paling sering terjadi adalah fibrilasi atrium (FA)," jelas Dewan Penasihat Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS), Dr dr Dicky Armein Hanafy SpJP(K) FIHA FAsCC, dalam peringatan satu dekade InaHRS, seperti dikutip dari siaran pers, Kamis (31/8/2023).
Prevalensi gangguan irama jantung secara umum di dunia adalah sekitar 1,5 persen hingga 5 persen dari populasi global. Sedangkan jumlah kasus FA di dunia diperkirakan mencapai 46,3 juta kasus.
Pada 2050, jumlah kasus FA diprediksi akan terus meningkat. Pada tahun tersebut, kasus FA diprediksi akan mencapai 6-15 juta kasus di Amerika Serikat, 14 juta kasus di Eropa, 72 juta kasus di Asia, dan 3 juta kasus di Indonesia.
Dr Dicky mengungkapkan bahwa gangguan irama jantung bisa memunculkan gejala seperti jantung berdetak lebih cepat dari normal (takikardia), jantung berdetak lebih lambat dari normal (bradikardia), pusing, pingsan, cepat lelah, sesak napas, serta nyeri dada. Terkadang, gejala gangguan irama jantung bisa tidak dirasakan oleh penderita. "Sehingga sering tidak disadari oleh penderitanya," lanjut Dr Dicky.
Kondisi gangguan irama jantung yang tak terdeteksi dan dibiarkan begitu saja dapat membuat penderitanya lebih berisiko terhadap komplikasi yang membahayakan. Sebagian dari komplikasi tersebut adalah strok, gagal jantung, dan kematian jantung mendadak. Penderita FA juga diketahui berisiko lima kali lipat lebih tinggi terhadap strok dibandingkan individu tanpa FA.
Secara umum, gangguan irama jantung bisa terjadi pada siapa saja. Meski begitu, kemunculan gangguan irama jantung sering kali sporadis. Selain itu, pada sebagian kecil pasien, kasus gangguan irama jantung terjadi karena dipengaruhi faktor bawaan.
Terlepas dari itu, Dr Dicky mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membuat seseorang lebih berisiko mengalami gangguan irama jantung. Sebagian dari faktor risiko tersebut adalah usia, menderita penyakit jantung koroner, memiliki riwayat penyalahgunaan narkoba atau zat-zat tertentu, mengonsumsi alkohol secara berlebihan, mengonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, serta mengonsumsi kafein berlebihan.
Pada kasus gangguan irama jantung, ada beberapa jenis terapi yang bisa diberikan kepada pasien. Sebagian di antaranya adalah kateter ablasi utuk kondisi detak jantung tidak teratur dan terlalu cepat, pemasangan alat //implantable cardioverter defibrillator// (ICD) untuk mencegah kematian jantung mendadak, serta obat-obatan. "Obat-obatan hanya dapat meredam kemunculan aritmia tetapi tidak menyembuhkannya," kata Dr Dicky.
Meski jumlah kasus gangguan irama jantung terus bertambah, masih ada sejumlah tantangan yang kerap dihadapi di Indonesia. Menurut Ketua InaHRS dr Sunu Budhi Raharjo SpJP, salah satu dari tantangan tersebut adalah jumlah dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang ahli di bidang aritmia masih terbatas. "Terdapat hanya 46 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ahli aritmia di Indonesia sampai tahun 2023," ujar dr Sunu.
Tantangan lain yang juga disoroti oleh dr Sunu adalah akses masyarakat terhadap tatalaksana penyakit gangguan irama jantung yang masih sangat buruk. Sebagai contoh, lanjut dr Sunu, jumlah kasus kematian jantung mendadak di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 100.000 per tahun. Akan tetapi, tindakan pencegahan untuk kematian jantung mendadak dengan pemasangan alat ICD pada pasien masih di bawah angka 100 alat per tahun.
Menurut dr Sunu, angka tersebut masih jauh di bawah negara-negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Thailand, dan India. Menurut InaHRS, faktor utama yang memicu timbulnya fenomena ini adalah adanya kesenjangan besar antara coverage Jaminan Kesehatan Nasional dengan biaya tindakan-tindakan medis yang harus dilakukan oleh dokter ahli aritmia dalam praktik.