Selasa 05 Jun 2018 16:30 WIB

Peneliti: Tak Semua Pengidap Kanker Payudara Perlu Kemo

Peneliti menemukan pasien dengan risiko rendah tak perlu melakukan kemoterapi

Rep: Farah Noersativa/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang aktivis menunjukkan brosur pencegahan Kanker Payudara dengan pita berwarna merah Jambu saat kampanye Deteksi Dini Kanker Payudara di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Seorang aktivis menunjukkan brosur pencegahan Kanker Payudara dengan pita berwarna merah Jambu saat kampanye Deteksi Dini Kanker Payudara di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Sebuah studi menemukan, sebanyak hingga 70 persen perempuan yang mengidap jenis kanker payudara tertentu, kemungkinan tidak memerlukan kemoterapi. Menghindari kemoterapi bisa menjadi sebuah solusi, sebab perawatan ini juga diiringi sejumlah efek samping seperti mual, rambut rontok, dan anemia.

Dilansir di Livescience.com, penelitian yang dipublikasikan pada Ahad (3/6) di jurnal kesehatan The New England menyebutkan lebih dari 10 ribu perempuan dengan jenis kanker payudara yang sama. Para perempuan itu dilakukan uji coba dalam penelitian yang disebut Trial Individualized Options for Treatment (Rx), atau TAILORx.

Bagi perempuan yang memiliki tumor payudara,  dianalisis dengan tes molekuler. Tes ini mengamati 21 gen dan kemudian mengeluarkan skor, dari nol hingga 100, yang memprediksi risiko bahwa kanker payudara akan kembali setelah operasi.

Para peneliti secara khusus fokus kepada wanita yang mencetak 10 hingga 25 pada tes - skor yang jatuh dalam kisaran risiko menengah kanker kembali setelah operasi. Studi sebelumnya menyatakan, perempuan dengan skor risiko rendah, yakni  di bawah 10, tidak perlu kemoterapi setelah operasi, dan sebaliknya dapat diobati dengan terapi hormon.

Demikian pula, wanita dengan skor risiko tinggi, yakni di atas 25, harus menjalani kemoterapi selain terapi hormon. Terapi hormon adalah pengobatan yang menurunkan jumlah hormon spesifik dalam tubuh yang membantu pertumbuhan kanker.

Hasilnya, dari 10 ribu perempuan yang terdaftar dalam penelitian TAILORx, sekitar 6.700 jatuh dalam kisaran risiko menengah. Para wanita ini secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok hanya menerima terapi hormon setelah operasi, dan kelompok lainnya menerima terapi hormon dan kemoterapi.

Kemudian, lima dan sembilan tahun kemudian, para peneliti memeriksa bagaimana keadaan para perempuan. Mereka menemukan bahwa hampir tidak ada perbedaan dalam tingkat kekambuhan kanker antara perempuan yang hanya menerima terapi hormon dan wanita yang menerima kedua perawatan.

"Hingga saat ini, kami telah dapat merekomendasikan pengobatan untuk wanita dengan kanker ini pada risiko tinggi dan rendah kekambuhan, tetapi wanita dengan risiko menengah tidak yakin tentang strategi yang tepat untuk diambil," kata direktur asosiasi Program Evaluasi Terapi Kanker National Cancer Institute, Jeffrey Abrams dalam pernyataannya.

Dia melanjutkan, temuan ini, menunjukkan tidak ada manfaat dari menerima kemoterapi plus terapi hormon untuk sebagian besar pasien dalam kelompok risiko menengah. “Sehingga ini akan sangat membantu para ahli onkologi dan pasien dalam mengambil keputusan tentang pengobatan terbaik," kata Abrams.

Sementara, penasihat klinis senior untuk Cancer Research UK yang tidak terlibat dalam penelitian ini, Arnie Purushotham,  menyambut hasil TAILORx sebagai langkah penting menuju perawatan kanker bagi pasien.

"Dengan menstratifikasi pasien kanker payudara ini, akan menemukan bahwa hanya mereka dengan risiko kekambuhan tertinggi yang perlu menjalani kemoterapi berdasarkan genetika tumor mereka.  TAILORx menunjukkan potensi besar untuk memastikan perawatan yang lebih lembut tanpa mengorbankan keefektifannya," kata Purushotham.

Purushotham pun menantikan masa depan di mana kanker diperlakukan menggunakan pendekatan yang dipersonalisasi. "Dalam banyak kasus, kami akan dapat menyesuaikan perawatan untuk pasien dan tumor mereka," ungkapnya.

Sementara tingkat kelangsungan hidup kanker telah meningkat dua kali lipat selama 40 tahun terakhir. Purushotham menambahkan, para peneliti berharap perawatan pribadi berdasarkan profil genetik akan memberikan perbaikan lebih lanjut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement