Kamis 08 Mar 2018 05:34 WIB

Kandungan Garam dalam Cairan Infus Saline Lebihi Kebutuhan?

Kandungan sodium dan klorida pada saline lebih tinggi dibandingkan pada darah.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Winda Destiana Putri
Infus. Ilustrasi
Foto: WebMD
Infus. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Cairan saline telah digunakan selama lebih dari 150 tahun dalam dunia kedokteran moderen. Cairan saline biasanya digunakan untuk beragam kebutuhan, mulai dari mengisi kembali cairan yang hilang hingga menopang pasien saat proses operasi, dialisis atau kemoterapi.

Meski banyak digunakan dalam berbagai keperluan, cairan saline ternyata belum pernah dilibatkan dalam uji klinis yang dipelajari dengan baik. Di sisi lain, banyak dokter yang mempertanyakan apakah pemberian cairan saline cukup aman mengingat kandungan garam yang tinggi. Seperti diungkapkan WebMD, satu kantung cairan saline mengandung sodium yang sama seperti 20 bungkus snack keripik kentang.

Associate professor dari Vanderbilt University School of Medicine, Wesley Self MD, mengatakan bahwa cairan saline memiliki kadar sodium dan yang tinggi. Self mengatakan kandungan sodium dan klorida pada saline lebih tinggi dibandingkan pada darah.

"Kami berpikir bahwa kadar sodium dan klorida yang tinggi itu mungkin dapat menyebabkan beberapa masalah bagi pasien jika Anda memberikannya pada mereka," jelas Self.

Untuk itu, Self dan beberapa rekan dokter lain melakukan penelitian terhadap cairan saline dalam dua penelitian berbeda. Selama penelitian berlangsung, tim dokter memantau pemberian cairan infus yang diberikan kepada pasien. Pada bulan genap, pasien diberikan cairan saline sedangkan pada bulan ganjil, pasien diberikan cairan seimbang seperti Ringer laktat atau Plasma-Lyte-A.

Ringer laktat dan Plasma-Lyte-A memiliki kandungan sodium yang lebih rendah dibandingkan saline. Sebagian besar pasien yang diberikan cairan seimbang mendapatkan Ringer laktat.

Tidak semua pasien dilibatkan dalam penelitian ini demi keamanan pasien. Sebagai contoh, tim dokter tidak memberikan cairan seimbang kepada pasien dengan cedera otak karena secara teoritis perbedaan zat kimia dapat meningkatkan risiko pembengkakan.

Para pasien dipantau selama 30 hari untuk melihat perkembangan kesehatan masing-masing dengan pemberian cairan infus yang berbeda. Perbedaan yang ditemukan cukup kecil namun signifikan secara statistik. Artinya, hasil perawatan pada pasien yang mendapat cairan saline maupun cairan seimbang bukan hany dipengaruhi faktor kebetulan. Pemilihan cairan infus bahkan nampak sangat penting bagi pasien dengan kondisi yang sangat sakit.

Pasien ICU yang mendapatkan cairan seimbang memiliki kemungkinan lebih rendah untuk meninggal, membutuhkan dialisis maupun menghalami cedera pada ginjal dibandingkan pasien ICU yang mendapatkan cairan saline. Dari 7.942 pasien ICU yang mendapat cairan seimbang, ada 1.139 pasien yang mendapat salah satu komplikasi tersebut. Sedangkan dari 7.860 pasien ICU yang mendapat saline, ada 1.211 pasien yang mengalami komplikasi tersebut. Perbedaan absolutnya adalah 1,1 persen.

Pada pasien yang tidak kritis, pemilihan hidrasi intravena melalui Ringer laktat atau Plasma-Lyte-A juga terlihat dapat memangkas risiko masalah ginjal. Akan tetapi perbedaan antara kelompok yang mendapat cairan seimbang dan saline tidak terlalu berbeda, di bawah satu persen.

Pada tingkat individual, angka-angka tersebut mugkin tidak terlihat banyak. Akan tetapi Self mengatakan ada jutaan orang yang memerlukan terapi ini sehingga angka yang nampak kecil ini sangat penting. Tim dokter memperkirakan setidaknya ada 100 ribu pasien rawat inap per tahun yang dapat menghindari risiko kematian atau kerusakan ginjal jika dokter menggunakan cairan seimbang dibandingkan saline.

Hasil penelitian ini dianggap cukup meyakinkan bagi Vanderbilt dan dokter-dokter lain. Salah satunya adalah associate chairwoman dari departemen gawat darurat di Lenox Hill Hospital, June Ree MD. Ree yang tidak terlibat dalam penelitian mengaku lega setelah mengetahui penelitian ini karena rumah sakit tempat ia bekerja dan beberapa rumah sakit lain mengalami kekurangan pasokan saline akibat Badai Maria. Padahal selama ini ia hanya bergantung pada normal saline.

"Setelah membaca studi ini, saya pikir saya akan lebih terbuka untuk memberikan Ringer laktat pada lebih banyak pasien saya, khususnya pasien dengan penyakit ginjal," terang Ree.

Namun, penelitian ini juga masih memiliki beberapa keterbatasan. Di satu sisi, penelitian ini tidak buta. Para dokter sudah mengetahui cairan apa yang diberikan kepada pasien sehingga mungkin dapat menimbulkan bias dalam penilaian. Di sisi lain, penelitian ini juga masih terbatas pada satu rumah sakit.

Namun, terlepas dari kekurangan-kekurangan ini, ahli menilai penelitian ini merupakan tes dunia nyata yang penting. Penelitian ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi rumah sakit untuk lebih menganalisa apa yang mereka berikan pada cairan infus pasien.

"Banyak klinisi akan melihat dua percobaan ini dan menyimpulkan, dalam basis apa yang mereka ketahui sekarang, bahwa cairan seimbang lebih baik untuk pasien-pasien," ungkap Direktur Medis Wakefield Hospital ICU Paul Young MD.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement