REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembunuhan yang dilakukan oleh ibu kandung NW (30 tahun) kepada GW (5) di Jakarta Barat menyita perhatian masyarakat. Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menjelaskan bahwa terjadinya kasus kekerasan pada anak adalah salah satu bukti kurangnya kepedulian masyarakat dalam menjaga kondisi yang ramah anak.
Dalam UU Nomor 35 Pasal 76C Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Ancaman hukuman bagi siapapun yang melanggarnya adalah hukuman penjara minimal tiga tahun enam bulan, dan jika menyebabkan kematian, maka ancaman hukuman penjara minimal 15 tahun penjara atau denda sebanyak Rp 3 miliar.
Menurut pria yang akrab disapa Kak Seto ini, peraturan ini memiliki makna bahwa masyarakat juga dituntut untuk peduli pada perlindungan anak, dan harus saling mengontrol dan menjamin keamanan anak. Hal ini, kata dia berdasarkan pada kata 'membiarkan' yang berarti jika ada orang, meskipun dia tidak melakukan kekerasan terhadap anak, namun membiarkan terjadinya kekerasan di hadapannya tanpa melerai atau melaporkannya pada instansi terkait, maka orang tersebut juga layak mendapatkan hukuman yang diterima pelaku kekerasan.
"Ini sering terjadi, tetangga sudah tahu kalau pelaku itu punya gangguan kejiwaan atau stres tapi mereka tidak peduli, atau takut karena mengganggap itu adalah urusan internal keluarga yang sensitif, padahal itu adalah kewajiban mereka juga. Ini yang harus diubah paradigmanya," kata Seto.
Seto mengatakan, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membentuk satuan petugas perlindungan anak (SPPA) di setiap Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) yang bertugas memastikan kondisi anak di wilayah mereka sudah aman. Selain itu, SPPA juga berfungsi untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan terhadap anak dengan cara melakukan bimbingan kepada orang tua yang dianggap memiliki kemungkinan melakukan kekerasan terhadap anak.
SPPA, lanjut Seto dapat berkeliling ke rumah-rumah warga untuk mengontrol kondisi anak. Selain itu, jika menemukan rang tua yang mengalami gangguan, entah itu karena single parent atau permasalahan kejiwaan, SPPA dapat segera mengambil tindakan, baik dengan melakukan penyuluhan atau bimbingan untuk menghindari jatuhnya korban.
"Jadi mohon itu dikampanyekan secara nasional, seperti gerakan Sasana (Saya Sahabat Anak) mulai dari ayah dan ibu, RT RW, guru, polisi, hingga pejabat dan presiden sekalipun agar dapat menjadi sahabat anak," kata dia.
LPAI, kata Seto sempat melakukan penelitian tentang pelaku kekerasan terhadap anak, dan hasilnya kebanyakan pelaku kekerasan adalah ibu korban sendiri. Namun Seto tidak menempatkan ibu sebagai pihak antagonis, karena menurut dia, terdapat banyak hal yang membuat seorang ibu tega menyakiti buah hatinya sendiri, seperti faktor ekonomi keluarga, pendidikan, emosi dan ketidakharmonisan hubungan.
Salah satu cara untuk mengurangi munculnya ibu-ibu lain yang menjadi aktor utama kekerasan terhadap anak adalah pengadaan pertemuan teratur antara para ibu untuk saling mencurahkan isi hati (curhat) tentang permasalahan yang ditanggungnya. Menurut Seto, cara ini akan sangat efektif untuk mengatasi permasalahan bagi para ibu yang merasa tertekan secara emosional agar kekerasan pada anak tidak akan terulang.
"Perlu bantuan orang lain agar para ibu tidak menanggung bebannya sendirian. Saya tidak bisa menyalahkan si ibu, tapi lingkungannya karena tidak bergerak untuk membantu. Jika ibu bisa menyalurkan keluh kesahnya maka akan terjadi keseimbangan psikologis lain yang tentunya baik bagi ibu dan anak," kata Seto.
Seto juga mengatakan, adanya perkumpulan para ibu juga dapat dijadikan sebagai 'me time' atau waktu bagi para ibu untuk sejenak menyingkirkan beban pikiran mulai dari harga caabai yang terus mencekik, cicilan motor yang tak kunjung usai, hingga perilaku anak yang semakin aktif. Semakin berkualitasnya 'me time' tentu tak lepas dari partisipasi warga sekitar untuk bersama 'ngerumpi' tentang permasalahan keluarga agar bersama menemukan solusi yang terbaik.
Terkait penyebab terjadinya amarah seorang pelaku kekerasan, kata Seto dapat disebabkan banyak hal. Cara untuk meredamnya, lanjut dia adalah keberadaan pendengar agar emosi para ibu dapat tersalurkan dan dibuang dalam bentuk curhat.
"Pokoknya jangan dipendam sendiri, keluarkan kepada orang orang yang dapat dipercaya dan tidak akan menambah masalah," kata Seto.
Adapun yang terjadi pada kasus NW adalah kebiasaan GW yang terus mengompol pada sebulan terakhir sebelum dia menjadi korban kekhilafan ibunya. Mengompol, mengigau, susah tidur, hingga agresifitas anak, menurut Seto dapat diartikan sebagai sinyal dari alam bawah sadar anak untuk mengirimkan tanda bahaya yang akan terjadi atau sedang dihadapi anak.
"Sinyal ini terjadi karena adanya konflik dalam diri anak yang diwujudkan dalam bentuk tekanan yang dapat mengakibatkan beragam hal, seperti mengigau hingga mengompol," kata dia.