Ahad 16 Jul 2017 13:01 WIB

Trik Memberi Terapi Seni Anak Austime di Rumah

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Seorang anak austisme sedang belajar di Mumbai, India. April adalah bulan kesadaran gangguan autisme sedunia.
Foto: EPA
Seorang anak austisme sedang belajar di Mumbai, India. April adalah bulan kesadaran gangguan autisme sedunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog dari Tiga Generasi yang fokus menangani anak dan permasalahannya, Saskhya Aulia Prima, M.Psi, mengatakan orangtua boleh dan bisa mengajarkan anak penyandang autis mengenai seni di rumah. Terapi seni bagi anak dengan autisme tidak melulu harus dilakukan di luar rumah.

Saskhya menjelaskan caranya bisa dengan mengajarkan anak menggambar sendiri di rumah. Hal ini bisa dilakukan orangtua, asal tujuannya jelas dan tidak memberatkan anak. Sayangnya terkadang orangtua mengajarkan gambar karena ekspektasinya agar anak bisa jadi pelukis terkenal.

“Nah ini yang menjadi masalah. Tapi kalau kita gunakan gambar sebagai media, sebagai alat, supaya misalnya dia bisa lebih ekpresi, melepaskan stress enggak apa-apa,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Selain itu saat belajar seni dengan orangtua, misalnya seni menggambar, orangtua juga terkadang sering protes. Misalnya saat garisnya miring, orangtua bilang “kok miring sih?”, atau ketika warna yang dibubuhkan tidak sesuai keinginan orangtua, mereka juga akan mengatakan, ”Kok bunga warnanya biru sih?”

Hal-hal seperti itu yang justru membuat anak stres. Apalagi anak autis. Bagi anak autis, hal seperti memang disenanginya. Terlalu banyak mengarahkan justru tidak baik bagi anak autis dalam kaitannya dengan terapi seni.

Karena itu dalam terapi seni ada tujuan akhir yang jelas. Ada program, hari ini apa, besok apa, ada kurikulumnya. Selain mengajarkan menggambar di rumah, orangtua juga bisa mengajak anak melihat pemandangan atau sumber untuk gambarnya kelak. Misalnya diajak ke gunung.

Menurutnya, ini perlu agar anak penyandang autis juga melihat pemnadangan atau lingkungan. Karena sebetulnya bukan masalah anak autis tahu ada gunung, tapi yang penting adalah bagaimana anak autis melihat lingkungan sekitar, bagaimana bertemu orang lain. “Kalau  dia lihat gunung, kita tidak bisa ekpektasi, kalau dia ingin gunungnya kuning. Biarkan saja, kadang-kadang yang buat kita khawatir, kok gunung warnanya kuning sih dek?"

Lalu apakah tidak masalah jika warna yang dibuat anak tidak sesuai dengan fakta? Kata dia, tidak apa dari sisi psikologi, ia lebih senang orang-orang seni yang tidak memaksakan. Karena mereka lebih jujur, lebih tulus.

“Karena kreativitas anak, sekali kita bilang ke anak, kalau gambar gunung harus dua, kayak waktu SD, di bawahnya sawah, sampai besar bisa itu saja, beda kalau kita biarkan dia. Dia bisa menemukan formulasi gunung yang lain,” tambahnya.

Ia mengatakan terkadang yang membuat anak takut berkembang maju karena orangtua terlalu banyak aturan, pohon harus hijau. Padahal sebaiknya biarkan saja anak berekspresi sampai tahap tertentu dia responsif. Karena seni itu milik semua orang, mata kita dengan mata orang lain melihat seni bisa berbeda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement