Jumat 16 Aug 2024 18:54 WIB

Hasil Penelitian: Paparan Plastik BPA Picu Risiko Autisme pada Anak

Peneliti menemukan hubungan antara BPA ibu tinggi dan risiko autisme lebih besar.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
 Botol plastik mengandung BPA (ilustrasi). Sebuah penelitian baru-baru ini mengungkap peran plastik dalam mengembangkan autism pada anak.
Foto: www.pixabay.com
Botol plastik mengandung BPA (ilustrasi). Sebuah penelitian baru-baru ini mengungkap peran plastik dalam mengembangkan autism pada anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian baru-baru ini mengungkap peran plastik dalam mengembangkan autism pada anak. Secara khusus, penelitian ini berfokus pada paparan komponen plastik keras - bisphenol A atau BPA - di dalam rahim dan risiko anak laki-laki mengalami gangguan perkembangan saraf ini.

Penelitian ini menunjukkan bahwa BPA mungkin berperan dalam tingkat estrogen pada bayi dan anak laki-laki usia sekolah, yang kemudian dapat memengaruhi peluang mereka untuk di diagnosis autisme. BPA adalah komponen plastik keras yang telah digunakan selama beberapa dekade. Karena BPA ditemukan dalam plastik yang digunakan untuk makanan dan beberapa wadah minuman, banyak orang terpapar BPA dalam kadar rendah setiap harinya. Kekhawatiran tentang dampak BPA terhadap kesehatan telah ada sejak lama, mengingat BPA juga dapat meniru efek hormon estrogen dalam tubuh secara lemah.

Baca Juga

Meskipun demikian, tingkat paparan yang terus-menerus bisa berdampak signifikan pada kesehatan. Karenanya beberapa negara telah melarang penggunaan BPA dalam botol bayi sebagai tindakan pencegahan.

Seperti dilansir Study Finds, Jumat (16/8/2024), penelitian terbaru ini mengungkap bahwa paparan BPA di dalam rahim termasuk pada faktor lingkungan yang mungkin berpengaruh pada pengembangan autisme. Ada beberapa bagian dalam penelitian ini, termasuk studi dengan manusia dan tikus.

Pada manusia, para peneliti mengamati sebuah kelompok (atau kohort) yang terdiri dari 1.074 anak Australia; sekitar setengahnya adalah anak laki-laki. Mereka menemukan 43 anak (29 anak laki-laki dan 14 anak perempuan) memiliki diagnosis autisme pada usia tujuh hingga 11 tahun (usia rata-rata sembilan tahun).

Mereka mengumpulkan urine dari 847 ibu di akhir masa kehamilan dan mengukur jumlah BPA. Para peneliti kemudian memfokuskan analisis mereka pada sampel dengan tingkat BPA tertinggi.

Mereka juga mengukur perubahan gen dengan menganalisis darah dari tali pusar saat lahir. Hal ini dilakukan untuk memeriksa aktivitas enzim aromatase, yang berhubungan dengan kadar estrogen. Anak-anak dengan perubahan gen yang mungkin mengindikasikan tingkat estrogen yang lebih rendah, diklasifikasikan sebagai memiliki “aktivitas aromatase rendah”.

Tim menemukan hubungan antara kadar BPA ibu yang tinggi dan risiko autisme yang lebih besar pada anak laki-laki dengan aktivitas aromatase yang rendah. Dalam analisis akhir, para peneliti mengatakan bahwa tidak banyak anak perempuan yang diagnosis autisme dengan tingkat aromatase rendah untuk dianalisis. Jadi, kesimpulan mereka terbatas pada anak laki-laki.

Tim peneliti juga mempelajari efek dari tikus yang terpapar BPA di dalam rahim. Pada tikus yang terpapar BPA, mereka melihat penurunan perilaku sosial. Peneliti juga melihat perubahan pada daerah amigdala otak setelah perawatan BPA. Wilayah ini penting untuk memproses interaksi sosial.

Para peneliti menyimpulkan bahwa kadar BPA yang tinggi dapat meredam enzim aromatase untuk mengubah produksi estrogen dan memodifikasi bagaimana neuron dalam otak tikus tumbuh. Namun, pengujian terhadap tikus masih perlu dianalisa kembali karena peneliti tidak dapat mengasumsikan perilaku tikus secara langsung diterjemahkan ke dalam perilaku manusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement