Senin 13 Feb 2017 06:36 WIB

Orang Tua Diajak Berdiskusi Sehat dengan Anak Jelang Pilkada

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Warga mengikuti simulasi Pilkada DKI Jakarta di Kantor Kecamatan Jatinegara, Jakarta, Kamis (2/2).
Foto: Republika/Prayogi
Warga mengikuti simulasi Pilkada DKI Jakarta di Kantor Kecamatan Jatinegara, Jakarta, Kamis (2/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) nanti bukan hanya orang tua yang akan memberikan hak suaranya. Tapi juga anak muda atau pemilih pemula juga akan memberikan suaranya.

Pemilih pemula kerap masih bingung menentukan pasangan calon yang akan dicoblos. Orang tua bisa mengajak anak berdiskusi dalam menentukan pasangan calon yang sesuai dengan pilihan.

“Yang pasti pertama diskusi ya, maksudnya orang tua itu demokratis. Yang kedua hargai pendapat dia (anak), tidak memaksakan kehendak,” ujar psikolog anak, Ine Indriani.

Saat diskusi, orang tua sebaiknya memberikan informasi dan fakta-fakta seperti apa para paslon tersebut. Informasinya yang diberikan sebaiknya yang positif, tidak menjelekkan paslon lainnya. “Orang tua jadi ditantang untuk kasih informasi positif pada anak. Orang ini positifnya begini, yang itu begini, walaupun akhirnya jeleknya begini. Pasti arahnya ke situ ya. Kita pun begitu tapi dengan meminimalisasi kata-kata yang terlalu benci. Jangan sampai terlalu menyudutkan, memprovokasi,” katanya.

Orang tua, menurut Ine, bisa menjadi contoh bagi anak. Kalaupun orang tua tidak suka dengan paslon, orang tua tidak boleh menunjukkan kebenciannya di depan anak. Sehingga orang tua bisa jadi contoh yang baik untuk anak.

Iman Sjafei dari Asumsi, satu web series di Youtube tentang komentar isu sosial politik yang sedang hangat, mengatakan hal senada. Menurut dia, orang tua dan anak memang harus berdiskusi. Mereka harus memiliki data dari paslon masing-masing, tunjukkan bahwa data paslon jagoannya lebih bagus, yang penting itu isi diskusinya harus kuat. Baik tentang program, visi misi, hingga rekam jejak.

“Tapi jangan isu-isu bawaannya yang sebenarnya enggak penting. Pada akhirnya mau pilih siapa itu bebas, itu kan dijamin undang-undang. Siapapun itu bebas memilih. Harusnya juga kalau dulu enggak boleh diomongkan, kalau sekarang bebas. Tapi yang masih sampai sekarang ya itu hak memilih dijamin undang-undang,” katanya.

Randi Rahardan dari Sinergi Muda menambahkan, selain dengan orang tua, anak juga berdiskusi dengan siapa pun. “Yang paling dekat tentunya keluarga. Dan keluarga tidak harus orang tua. Ada adik ada kakak dan segala macam,” ujarnya.

Ia mengatakan, harusnya anak muda itu tertarik dalam hatinya sendiri mempertanyakan sebenarnya politik itu seperti apa, sebenarnya calon pemimpin kita siapa saja. “Pantas diskusi dengan siapa saja. Kita kan anak muda, tapi kita tuh kadang suka menganggap yang tua-tua ini kolot dan segala macam. Yang lebih muda dari kita enggak ngerti apa-apa. Justru mereka yang harus diserap aspirasinya juga. Sebenarnya anak muda itu berada di tengah-tengah, antara anak yang belum mengerti apa-apa sama orang tua. Bisa di tengah-tengah untuk mengakomodasi siapa gubernurnya nanti,” katanya yang baru lulus kuliah.

Untuk materi diskusi, kata dia, bisa bergantung pada latar belakang, kalau menengah itu biasanya tentang macet, transportasi, banjir, dan lainnya. Sudut pandang orang tua bisa dijadikan sebagai referensi mau pilih siapa. “Tapi lebih baik tidak semata-mata kita memilih apa yang dipilih sama mereka,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement