Senin 09 Jun 2025 10:54 WIB

Tiga Cara Agar Anak Punya Rasa Empati

Anak yang empatik diyakini akan lebih mampu menunjukkan kasih sayang dan pengertian.

Keluarga (ilustrasi). Setidaknya ada tiga tips untuk mengajarkan anak agar memiliki empati.
Foto: MGROL100
Keluarga (ilustrasi). Setidaknya ada tiga tips untuk mengajarkan anak agar memiliki empati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengajarkan empati pada anak usia dini dinilai sebagai fondasi penting dalam membentuk karakter mereka kelak. Pada usia ini, anak-anak cenderung berpusat pada diri sendiri (egosentris), menjadikan tugas orang tua untuk menanamkan nilai-nilai kepedulian menjadi sebuah tantangan tersendiri.

Namun, dengan pendekatan yang tepat dan konsisten, orang tua dapat membimbing anak-anak untuk mengembangkan rasa empati yang kuat, mencegah mereka tumbuh menjadi pribadi yang egois. Pentingnya empati tidak hanya terbatas pada interaksi sosial, tetapi juga membentuk dasar bagi kemampuan anak untuk memahami emosi orang lain, membangun hubungan yang sehat, dan berkontribusi positif di masyarakat.

Baca Juga

Anak yang empatik diyakini akan lebih mampu menunjukkan kasih sayang, pengertian, dan dukungan, yang pada gilirannya akan memperkaya kehidupan mereka sendiri dan orang-orang di sekitar mereka.

Untuk membantu orang tua mengatasi tantangan ini, psikolog pendidikan dan konselor TK-SD di Sekolah Cikal Lebak Bulus, Anggi Gracia Sigalingging, M.Psi., membagikan tiga tips aplikatif yang dapat diterapkan sehari-hari.

Tips-tips ini dirancang untuk menumbuhkan empati pada anak sejak dini, memastikan mereka tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga kaya secara emosional. Apa saja ya?

1. Memberikan contoh sikap empati pada kehidupan sehari-hari

Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka belajar dan menyerap banyak hal dari apa yang mereka lihat, terutama dari figur utama dalam hidup mereka, yaitu orang tua. Oleh karena itu, cara paling efektif untuk mengajarkan empati adalah dengan menjadi teladan. Ketika orang tua secara konsisten menunjukkan sikap empati dalam interaksi sehari-hari, anak akan mengamati dan meniru perilaku tersebut secara tidak langsung.

"Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menumbuhkan empati pada anak antara lain adalah dengan memberikan contoh dalam bersikap empati dalam kehidupan sehari-hari," kata Anggi dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Senin (9/6/2025).

Ini berarti, orang tua harus secara aktif mempraktikkan empati, bukan hanya dalam hubungan dengan anak, tetapi juga dalam interaksi dengan pasangan, anggota keluarga lain, teman, bahkan orang asing. Misalnya, menunjukkan rasa iba kepada pengemis di jalan, membantu tetangga yang kesulitan, atau mendengarkan keluh kesah pasangan dengan penuh perhatian. Ketika anak melihat orang tuanya menunjukkan rasa peduli terhadap perasaan atau kesulitan orang lain, mereka akan memahami bahwa itu adalah perilaku yang penting dan dihargai.

Contoh sederhana lainnya termasuk penggunaan bahasa yang menunjukkan empati, seperti "Kakak pasti sedih karena mainannya rusak" atau "Temanmu pasti senang kalau kamu berbagi". Ungkapan-ungkapan ini membantu anak mengidentifikasi dan memberi nama pada emosi, baik emosi dirinya maupun emosi orang lain, yang merupakan langkah awal dalam mengembangkan empati. Konsistensi dalam memberikan contoh ini sangatlah krusial, karena empati adalah keterampilan yang perlu diasah terus-menerus.

2. Menyediakan waktu khusus berdiskusi dan refleksi

Pada tahap perkembangan emosi anak usia dini, diskusi dan refleksi yang konsisten dan berkelanjutan memegang peranan krusial. Anggi menekankan pentingnya meluangkan waktu khusus untuk kegiatan ini, karena hal ini memungkinkan anak untuk memproses dan memahami situasi dari berbagai sudut pandang.

"Pendekatan yang intensif dan konsisten dapat dilakukan melalui kegiatan seperti membaca buku cerita secara rutin dan menyediakan waktu khusus untuk berdiskusi bersama anak (sangat penting memiliki kesadaran untuk menyediakan waktu untuk anak). Diskusi ini dapat berupa pertanyaan-pertanyaan reflektif yang membantu anak melihat suatu situasi dari sudut pandang orang lain," ujar Anggi.

Membaca buku cerita dinilai sebagai cara yang sangat efektif untuk memperkenalkan anak pada berbagai karakter dan situasi emosional. Setelah membaca, orang tua dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memancing refleksi, seperti "Bagaimana perasaan kelinci saat rubah mengambil wortelnya?" atau "Apa yang bisa dilakukan si kancil agar teman-temannya tidak sedih?". Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mendorong anak untuk membayangkan diri mereka berada di posisi orang lain dan memahami konsekuensi dari tindakan karakter dalam cerita terhadap perasaan karakter lain.

Selain buku cerita, diskusi ini bisa juga muncul dari kejadian sehari-hari. Misalnya, saat anak melihat teman jatuh, orang tua bisa bertanya, "Menurutmu, apa yang dirasakan temanmu saat dia jatuh? Apa yang bisa kita lakukan untuk membantunya?". Diskusi semacam ini tidak hanya mengembangkan empati, tetapi juga keterampilan komunikasi dan pemecahan masalah pada anak. Kunci utamanya adalah konsistensi dan kesadaran untuk meluangkan waktu berkualitas ini, di tengah kesibukan yang mungkin mendera orang tua.

3. Memberikan apresiasi terhadap perilaku empati anak

Ketika anak mulai menunjukkan tanda-tanda empati, sekecil apapun itu, orang tua harus segera memberikan apresiasi. Apresiasi ini berfungsi sebagai penguatan positif yang akan memperkuat perilaku tersebut dan menumbuhkan kesadaran anak bahwa kepedulian terhadap orang lain adalah hal yang penting dan dihargai.

"Memberikan apresiasi ketika anak mulai menunjukkan perilaku empati atau kepedulian terhadap orang lain juga penting. Hal ini sebagai apresiasi bahwa anak melakukan perilaku yang diharapkan dan kita sebagai orang dewasa menghargai apa yang mereka lakukan kepada sekitarnya," kata Anggi.

Contoh perilaku empati yang patut diapresiasi meliputi memeluk teman yang menangis, berbagi mainan dengan sukarela, menghibur adik yang sedih, atau menawarkan bantuan kepada orang lain. Apresiasi tidak harus berupa hadiah mewah, pujian tulus seperti "Wah, Kakak hebat sekali sudah menghibur temanmu! Pasti temanmu senang sekali" atau "Terima kasih sudah berbagi mainan dengan adik, kamu baik sekali!" dianggap sudah sangat efektif.

Pujian spesifik yang menjelaskan mengapa perilaku tersebut baik akan lebih bermanfaat. Misalnya, daripada hanya mengatakan "Anak pintar" lebih baik katakan "Kamu sangat perhatian karena membantu Ibu membawa belanjaan. Itu sangat membantu!".

Dengan demikian, anak memahami tindakan spesifik yang dianggap empatik dan diharapkan, mendorong mereka untuk mengulanginya di masa depan. Apresiasi ini juga menumbuhkan rasa bangga pada diri anak karena telah melakukan sesuatu yang positif dan dihargai oleh orang dewasa di sekitarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement