Selasa 29 Nov 2016 06:30 WIB

Tanda Anak Sudah Kecanduan Gawai

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Gadget seperti dua sisi mata uang pisau bagi anak. Bermanfaat sekaligus bisa membahayakan perkembangannya.
Foto: AP
Gadget seperti dua sisi mata uang pisau bagi anak. Bermanfaat sekaligus bisa membahayakan perkembangannya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak orang tua yang mengeluh saat anaknya tidak mau lepas dari gawai. Bahkan sebelum tidur pun anak masih bermain gawai. Sebenarnya apa tanda-tanda anak sudah berlebihan memakai gawai?

Psikolog keluarga Astrid Wen, mengatakan tanda-tanda anak sudah berlebihan menggunakan gawai yang mengarah pada kecanduan di antaranya lupa waktu, lupa makan dan anak mudah marah atau ngambek saat permainannya diinterupsi. Anak juga suka berebutan bermain gawai dengan adik atau kakaknya, bahkan dengan orang tuanya.

Tanda lainnya adalah pekerjaan rumah (PR) terbengkalai atau tidak selesai. Anak juga menarik diri dari lingkungan. Ketika ada saudara datang, anak lebih memilih bermain gawai dibanding menyambut tamu. Anak lalu enggan turun dari mobil ketika sedang asyik bermain gawai. Bahkan lebih parahnya anak sering bermain gawai dengan cara secara sembunyi-sembunyi. Ini karena anak tahu orang tuanya tidak suka dan akan marah jika dia bermain gawai.

 

Hal ini tentunya akan memberikan dampak negatif pada anak di masa depan. Terutama pada regulasi diri anak yang jadi berantakan. Anak tidak mau makan atau melakukan aktivitas lain karena main gawai dinilai lebih menyenangkan.

Anak juga tidak memiliki empati yang baik. Anak yang kecanduan gawai, empatinya tidak tumbuh, dia tidak peduli dengan orang lain, bahkan dengan dirinya sendiri saja dia tidak mampu. Sehingga jiwa empati anak dikorbankan.

Selain itu juga akan berdampak pada fisik anak, punggung, leher sering sakit. Mata cepat lelah saat main gawai. Dampak di masa depan lainnya adalah masalah kontrol diri anak, anak menjadi impulsif. Padahal kesuksesan butuh kerja keras. Kapan harus mulai kapan harus berhenti. Bukan hanya itu kemampuan merencanakan sukar didapat.

Dampak lainnya ada risiko anak memiliki sifat narsistik. “Anak-anak sekarang lebih sadar dengan ekspresi wajah. Ini sebenarnya baik. Masalahnya, orang tua suka memaksakan anak harus menunjukkan wajah tersenyum saat selfie sehingga dipaksakan. Seharusnya anak-anak dibiarkan memiliki ekspresi natural.” 

Dampak lebih jauh adalah kemampuan bersosialisasi yang kurang terasah sehingga mereka kesulitan berteman, merasa kesepian. Bahkan berisiko mengalami depresi dan gangguan kecemasan karena waktu dikorbankan dan mereduksi makna dan tujuan hidup seseorang.

“Kemampuan observasi berkurang kemampuan interaksi berkurang. Seperti hanya melihat dunia dari dunia maya yang sudah alami filterisasi, branding. Imajinasi tidak sesuai dengan dunia nyata,” jelasnya.

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement