REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei Asian Parent pada sekitar 2.500 orangtua di negara Asean menemukan ternyata 99 persen anak main gawai di rumah. Kemudian 71 persen main saat bepergian dan 70 persen main di rumah makan, 40 persen main di rumah teman, dan 17 persen main di sekolah.
Psikolog keluarga Astrid Wen, yang juga pendiri PION Clinition dan inisiator Theaplay Indonesia menjelaskan fenomena anak kecanduan gawai ini juga terjadi secara global. Meskipun internet addiction belum dikenal di Indonesia, namun di negara maju masalah ini sudah dianggap sebagai ancaman serius bagi masa depan anak-anak. Bahkan di Inggris, biaya terapi untuk mengatasi kecanduan gawai sangat mahal.
Oleh karena itu, menurut Astrid, mencegah menjadi solusi lebih baik dan dilakukan sejak dini. Memang sebenarnya apakah gawai untuk anak itu berbahaya? Menurutnya, gawai sebenarnya tidak berbahaya.
Dia bukanlah orang yang anti-gawai. Yang jadi masalah sebenarnya ada dua. Pertama konten dan kedua lama waktu penggunaan. Banyak konten yang ada di gawai ditujukkan untuk dewasa. Meskipun mainannya cocok untuk anak, tapi iklannya berbahaya atau saat awal video anak bagus berikutnya bahaya. Misalnya konten pornografi atau kekerasan.
Ia mengungkapkan kebanyakan anak menghabiskan waktu bermain gawai berjam-jam sehingga mengorbankan waktu untuk melakukan eksplorasi khas anak-anak, misalnya bergerak, berlari, dan berinteraksi dengan orang sekitar. “Anak pulang sekolah jam dua atau tiga pulang ke rumah, main gawai, kerjakan pekerjaan rumah (PR) kemudian kursus atau main. Sehingga eksplorasi di lapangan kurang, waktu interaksi dengan teman di luar berkurang,” ujarnya.
Selain itu, anak-anak yang main gawai secara intens berjam-jam umumnya tidak memperhatikan orang lain di sekitarnya. Waktu dia untuk mengobservasi dunia sekelilingnya berkurang, untuk mengetahui apa dan siapa. Padahal ini sangat penting untuk perkembangannya.
Kerugian lain dengan bermain gawai tanpa terkontrol adalah waktu istirahat anak berkurang yang berdampak untuk perkembangan fisik, dan menurunkan kesempatan anak mengembangkan kemampuan berpikir. “Pada akhirnya anak tidak tumbuh menjadi orang-orang yang dapat merefleksikan dan mengekspresikan diri,” jelas Astrid.