Senin 05 Sep 2016 11:00 WIB

Renyah Jagung Titi NTT yang Susah Berhenti Dimakan

Rep: Pryantono Oemar/ Red: Indira Rezkisari
Jagung titi
Foto: Republika/Pryantono Oemar
Jagung titi

REPUBLIKA.CO.ID, Tiba di Nubahaeraka di pulau di sebelah timur Pulau Adonara dan Pulau Solor, kami mendapatkan suguhan cemilan jagung titi di rumah Elisabeth Nogo Keraf. ‘’Jagung titi yang tanpa gula, pertama kali gigit terasa keras, tapi semakin kita makan semakin kita menikmati jagung keprek ini,’’ ujar Melda Sitompul, rekan seperjalanan dari Jakarta, Senin (29/8) malam.

Tiga jam kami menempuh perjalanan dengan ferry dari Larantuka di Pulau Flores ke Lewoleba di Pulau Lembata. Dari Lewoleba, masih membutuhkan perjalanan tiga jam dengan mobil untuk mencapai Nubahaeraka di dataran Bauraja di kaki Ile (Gunung) Werung.

Saat makan malam, kami menikmati nasi merah, tetapi tak berani makan banyak. Urusan sesudah makan akan cukup merepotkan, karena susahnya air. Warga memilih mandi di mata air yang jauhnya sekitar tiga kilometer dari kampung. Bahkan, kami memutuskan tidak mandi sore dan mandi pagi. ‘’Besok saja dipuas-puasin mandi di Kupang,’’ ujar Fadlun Saus, rekan seperjalanan dari Jakarta.

Jagung menjadi salah satu sumber karbohidrat bagi masyarakat Pulau Lembata dan juga di NTT secara keseluruhan, selain padi ladang. ‘’Yang kami tanam beras merah dan beras hitam, juga jagung dan kacang tanah, serta ubi kayu,’’ ujar Vincensius Nuba Lajar, sekretaris Desa Nubahaeraka, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata.

Di Pulau Lembata, ada tradisi makan jagung muda (ga kwar nuja) dan makan beras baru (ga keluok weru). Tradisi ini digelar sebagai rasa syukur atas panen jagung dan panen padi. Ga kwar nuja dan ga keluok weru diadakan di rumah adat, dipimpin oleh ketua adat.

Jagung, selain dimasak menjadi nasi, juga dimasak untuk cemilan. Mereka menyebutnya jagung titi. Jagung yang disangrai, dikeprek dengan batu. Malam itu, Agustina memperlihatkan cara membuat jagung titi. Ia gunakan lampu tenaga surya dari Yayasan Kopernik sebagai alat penerang. Dengan adanya lampu tenaga surya menggantikan pelita, ia kini bisa membuat jagung titi di malam hari.

Ia bersihkan batu landasan, ia sangrai biji jagung di kuali kecil. Panas tak ia rasakan ketika tangannya mengambil biji jagung dari dalam kuali, untuk kemudian ia keprek di atas batu landasan. Tangan kiri memegang biji jagung di atas batu, tangan tangan mengayunkan batu untuk mengeprek biji jagung yang sudah disangrai itu.

Untuk membuat jagung titi manis, setelah dikeprek dimasukkan ke air gula. Setelah dijemur disangrai lagi. Renyah jagung titi, menurut Melda, membuat dirinya sulit berhenti menyantapnya. ‘’Jagung titi dengan gula lebih enak, karena manis. Kita cari yang agak gosong gulanya,’’ lanjut Melda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement