Selasa 31 May 2016 06:29 WIB

Pakar Bagi Kisah Mengasuh Anak Tanpa Kekerasan

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Ayah dan anak perempuannya
Foto: pixabay
Ayah dan anak perempuannya

REPUBLIKA.CO.ID, Parenting Communication Specialist dari HARA Communication, Hana Yasmira membahas cara mendidik anak dengan kekerasan yang ramai diperbincangkan di media sosial beberapa waktu lalu. Ia membagi satu kisah yang telah mengubah perspektifnya tentang pola asuh non-kekerasan.

"Kisah ini menjadi tambahan eksplanasi bagi postingan saya sebelumnya. Selamat membaca," tulisnya dalam akun Facebook miliknya, Senin (30/5).

Kisah ini diceritakan oleh Dr Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi, saat memberikan ceramah di Universitas Puerto Rico.

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua  di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran jika saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.

Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh, dan saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, “ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.”

Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah dan ibu. Setelah itu, saya pergi ke bioskop. Saya benar-benar terpikat dengan akting John Wayne hingga lupa waktu.

Begitu melihat jam menunjukkan pukul 17.30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu. Saat itu sudah hampir pukul 18.00.

Begitu melihat saya dengan gelisah ayah bertanya, “kenapa kau terlambat?”

Saya sangat malu untuk mengakui jika saya keasyikan menonton film John Wayne, jadi saya memilih untuk menjawab seperti ini, “tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu.”

Saya tidak tahu jika tanpa sepengetahuan saya, ayah ternyata telah menelepon bengkel mobil itu, dan beliau pun tahu saya telah berbohong. Dengan sangat serius ayah lalu berkata, “sda sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenarannya pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.”

Demikianlah, dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Hari sudah gelap, dan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, akhirnya selama lima setengah jam berikutnya saya pun mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau dan melihat penderitaan yang dialaminya hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan. Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi.

Saya pun mengaku sering berpikir mengenai peristiwa ini. Seandainya saja ayah memberi hukuman seperti orang tua lain menghukum anak-anaknya, apakah ada pelajaran dari kejadian ini?

Saya kira tidak. Saya mungkin hanya akan menderita atas hukuman itu sesaat, lalu melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, saya merasa kejadian itu seperti baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement