REPUBLIKA.CO.ID, Minggu lalu muncul berita seorang guru yang dipenjara karena mencubit murid. Pencubitan terjadi karena sang guru yang ingin shalat Dhuha merasa kesal sebab tersiram air pel yang dimain-mainkan oleh dua muridnya.
Kasus ini menuai pro kontra. Dan, sang guru akhirnya dibebaskan setelah upaya damainya diterima orang tua korban.
Parenting Communication Specialist, Hana Yasmira mengajak orang tua belajar dari kejadian ini. Dalam akun Facebooknya ia mengatakan bahwa kebanyakan orang menganggap cara terbaik untuk menegakkan aturan dan mendisiplinkan anak adalah dengan mengedepankan hukuman fisik saat menghadapi perilaku salah anak. "Anggapannya, dengan cara ini, anak akan takut dan kapok untuk mengulangi perilaku salahnya itu," ujarnya.
Pada akhirnya banyak anak yang dipaksa untuk terbiasa menghadapi bukan hanya teriakan, bentakan dan makian, tapi juga jeweran, cubitan, tamparan bahkan pukulan ketika melakukan perilaku salah.
Selain itu muncul juga anggapan bahwa anak yang tidak diberi hukuman saat melakukan perilaku salah akan tumbuh menjadi anak yang tidak tahu aturan dan sulit disiplin. Benarkah?
Menurutnya, kekerasan dan sikap tegas adalah dua hal berbeda. Perilaku salah anak seharusnya tidak dihadapi dengan kekerasan karena ada banyak cara yang lebih positif untuk menumbuhkan kesadaran anak akan perilaku salahnya tanpa harus menghujaninya dengan berbagai bentuk kekerasan.
"Teman-teman, anak-anak kita sudah kenyang dicekoki dengan beragam bentuk kekerasan baik di rumah, dari media, perilaku orang dewasa di sekitarnya dan banyak lagi," ujarnya.
Hasil studi Amy Huneek, seorang ahli intervensi bullying dari Amerika Serikat tahun 2006, mengungkapkan bahwa 10 sampai 16 persen siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan atau pun didorong sedikitnya sekali dalam seminggu. Dan dari berbagai kasus terlihat juga betapa tindak bullying yang menimpa anak-anak sudah dalam tahap sangat mencemaskan.
Gandhi mengatakan, kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan, kekerasan jangan dibalas dengan kekerasan. Karena setiap orang yang membalas kejahatan dengan kejahatan akan menjadi jahat dan setiap orang yang membalas kekerasan dengan kekerasan akan menjadi keras.
"Jadi menurut saya, jika ingin anak-anak kita kelak tumbuh menjadi manusia-manusia baik yang bertanggung jawab, peduli dan penuh welas asih, ada baiknya jika mulai saat ini siapapun yang diberi kesempatan untuk mendidik dan mengasuh anak belajar untuk mengedepankan pola asuh yang bersandar pada kepedulian, penerimaan tulus, sikap memaafkan dan cinta kasih," ujarnya.
(baca: Memahami Proses Anak Mengenali Identitas Gender)