Kamis 26 May 2016 11:18 WIB

Pasangan Asal Swiss Ini 'Hidupkan' Kembali Songket yang Hampir Punah

Rep: Adysha Citra R/ Red: Andi Nur Aminah
Bernhard Bart dan Erika Dubler, pasangan asal Swiss yang mengoleksi songket
Foto: Adysha Citra R
Bernhard Bart dan Erika Dubler, pasangan asal Swiss yang mengoleksi songket

REPUBLIKA.CO.ID, Songket merupakan salah satu kain nusantara yang memiliki nilai sejarah tinggi. Pesona kain nusantara yang telah ditenun sejak ratusan tahun lalu ini masih bertahan hingga sekarang. Akan tetapi, beberapa jenis songket kini hanya dapat dinikmati melalui museum. Karena sudah tidak ada lagi penenun yang bisa menghasilkan songket tersebut.

Akan tetapi, masa depan kain-kain kuno yang telah punah tersebut memiliki titik terang di tangan pria asal Swiss bernama Bernhard Bart. Pria yang mencintai kain-kain kuno ini pertama kali mengunjungi Sumatra Barat pada 1996, atau 20 tahun silam.

Ketika mengunjungi museum, Bernhard seketika jatuh hati pada kain-kain songket kuno yang saat itu tak lagi diproduksi dan hanya menjadi warisan sejarah. Atas inisiatif sendiri, Bernhard kemudian meneliti songket Minangkabau dan berupaya mengumpulkan berbagai data untuk pengembangan motif-motif songket tradisional. Dia kemudian mendirikan sebuah studio untuk mengerjakan kain-kain songket yang dinamainya Palantaloom.

"Saya cinta pada satu kain yang menjadi koleksi di museum," cerita advisor dari Palantaloom itu saat ditemui di Harris Hotel and Conventions Kelapa Gading.

Bersama sang Istri, Erika Dubler, Bernhard mulai berupaya mencari cara untuk menghidupkan kembali salah satu songket yang hampir punah dan berasal dari Koto Gadang. Keduanya menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk merumuskan kembali formula menenun yang tepat sehingga songket tersebut dapat 'hidup' kembali dan dilestarikan.

Rekan Bernhard dan Erika, Trini Tambu, mengatakan Koto Gadang merupakan daerah lahirnya songket-songket paling rumit di dunia. Songket yang kembali dihidupkan oleh Bernhard dan Erika merupakan jenis songket yang kala itu tak lagi ditenun karena tidak ada warga yang mengetahui cara menenunnya. "Songket itu tidak ada yang bisa menenun lagi, sudah cukup lama," terang Trini kepada Republika.co.id.

Upaya Bernhard, Erika dan Trini melalui Palantaloom akhirnya membuahkan hasil. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pola songket hingga mengumpulkan data dan melakukan penelitian, akhirnya songket asal Koto Gadang tersebut dapat kembali ditenun.

Untuk melestarikan songket kuno itu, Palantaloom mengajarkan para penenun-penenun muda dari Koto Gadang untuk membuat songket kuno. Hingga saat ini, ada sekitar 12 penenun muda asal Koto Gadang yang sudah piawai dalam membuat tenunan songket kuno asal Koto Gadang yang halus dan menawan.

"Advisor kami, Pak Bernhard, dia mengajarkan teknik, dan dia juga belajar. Kini mereka (penenun muda) sudah menenun kembali (songket kuno yang hampir punah)," jelas Trini.

Hidupnya kembali songket kuno ini mendapat sambutan hangat dari banyak pihak, termasuk kolektor. Pasalnya, songket kuno yang dihasilkan Palantaloom memiliki tekstur kain yang lembut dan tidak kaku karena didukung oleh bahan yang berkualitas.

Trini pun mengungkapkan bahwa pihaknya sangat terbuka untuk turut andil dalam regenerasi penenun agar kain-kain kuno tetap lestari. Oleh karena itu, Trini mengungkapkan Pantaloom membuka pintu bagi para generasi muda yang ingin turut andil dalam belajar menenun kain-kain songket kuno dan ikut melestarikan wastra nusantara tersebut.

"Saya pikir akan sangat bagus sekali. Mudah-mudahan bisa berkembang seperti batik," harap Trini. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement