REPUBLIKA.CO.ID, Pada suatu hari, hiduplah keluarga White di sebuah rumah nan jauh dari kota. Dalam keluarga itu, terdapat dua anak perempuan yakni Hazel dan Ruby. Hazel berusia lima tahun sementara adiknya berusia tiga tahun lebih muda.
Hazel adalah anak yang aktif dan mencintai seni. Sedangkan si kecil Ruby adalah sosok anak yang tenang namun cukup keras kepala. Kedua orang tua mereka, Tuan dan Nyonya White adalah pasangan super sibuk. Tuan White bekerja sebagai arsitek dan Nyonya White adalah seorang penulis.
Keluarga kecil itu senang melakukan berbagai aktivitas. Namun, ada satu hal yang paling mereka cintai yakni 'screen time' atau kecenderungan berlama-lama memandangi layar gadget (gawai) dan televisi.
Kegiatan itu menjadi kebiasaan dan hampir mendominasi setiap detik kehidupan keluarga White. Mereka menonton TV saat sarapan. Di mobil menuju sekolah, Hazel dan Ruby masih tetap asyik menonton TV. Sementara itu, Tuan White repot menerima telpon dari kolega kerja sambil menyetir dan Nyonya White sibuk dengan blognya. Pada malam hari, mereka kembali menonton TV dan bermain gim di gawainya.
Efek buruk 'screen time' perlahan terasa mengganggu interaksi dalam keluarga White. Bermain petak umpet menjadi tidak menyenangkan karena Tuan White tidak menghayati permainan dan terus meladeni gawainya.
Tak hanya dalam keluarga, efek itu pun berlanjut ke lingkungan sekolah. Guru sekolah Hazel memanggil Nyonya White dan memberi tahu ada masalah. Ia mengatakan, Hazel sulit mendapatkan teman dan tidak fokus mengikuti pelajaran. "Hal itu terjadi kepada murid-murid saya terdahulu karena terlalu banyak 'screen time'," ungkapnya.
Mendengar hal itu, Nyonya White langsung membuat aturan baru. Hazel dan Ruby hanya bisa bermain dengan gawai pada akhir pekan selama 30 menit sehari. Tuan dan Nyonya White juga tidak akan menggunakan gawai mereka saat sarapan, makan siang, makan malam, dan waktu bermain.
Aturan itu membuat kebiasaan keluarga White berubah. Jika sebelumnya mereka kerap beraktivitas individu, mereka kini bernyanyi bersama di dalam mobil. Dengan mengurangi waktu gawainya, sejumlah dampak positif akhirnya turut dirasakan keluarga White.
Kisah tentang keluarga White itu ada dalam buku 'Screen Time' karya Tascha Liudmilla. Wanita yang masyhur sebagai pembaca berita di sejumlah TV swasta Tanah Air meluncurkan buku pertamanya itu di Reading for Fun, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (17/2).
Tascha mengatakan, inspirasi menulis buku itu datang dari kedua anak perempuannya yang masing-masing berusia delapan dan tiga tahun. Ia mengisahkan, pernah mencoba memisahkan gawai dari tangan anak pertamanya. Namun, tantangan muncul karena si anak justru sulit makan. Gawai pun menjadi "jalan pintas" untuk menyelesaikannya.
Ketika anak sudah menginjak usia dua setengah tahun, Tascha mulai merasakan dampak negatif. Ia sulit mendapatkan perhatian anak. Dampak buruk itu terus berlanjut hingga anaknya mencapai usia sekolah. Tascha membuat buku ini dengan harapan bisa menjelaskan kepada anak-anaknya permasalahan yang timbul akibat terlalu banyak 'screen time'.
Tascha mengakui, generasi muda yang modern saat ini sulit lepas dari gawai. Kebutuhan gawai sudah merasuk tak hanya dalam urusan pekerjaan tapi hingga persoalan penasaran dengan lini masa media sosial. Orang tua yang tak bisa lepas dari gawai, lantas menularkan kebiasaan tersebut ke anak-anaknya.
"Kenapa kita sulit menarik gadget dari anak bisa saja karena kita sendiri masih sulit lepas dari gadget," kata Tascha.