Kamis 26 Nov 2015 09:41 WIB

Belajar dari Ibu Jepang untuk Bisa Dekat dengan Anak

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Kaum ibu Jepang memiliki kebudayaan mengasuh sendiri anak-anaknya, sehingga kelekatan ibu dan anak sangat erat.
Foto: flickr
Kaum ibu Jepang memiliki kebudayaan mengasuh sendiri anak-anaknya, sehingga kelekatan ibu dan anak sangat erat.

REPUBLIKA.CO.ID, Selain disiplin, Psikolog Anak, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi mengatakan pola asuh yang bisa diambil nilai positifnya dari Jepang adalah kelekatan ibu dan anak sangat diutamakan. Jadi sangat lumrah jika di Jepang ibu membawa anaknya kemana-mana.

“Mereka tidak mengenal adanya baby sitter atau pengasuh. Jadi semua hands on ibunya yang pegang dan merawat sendiri,” ujarnya, di acara Learning from the Positive of Japanese Parenting, di Aeon Mall, BSD City, kemarin.

Menurut Vera, bagus sekali, karena secara psikologi dua tahun pertama anak kelekatan ibu dan anak terbentuk. Jadi begitu lahir sebenarnya anak seperti mengetes dunia luar. Karena waktu di dalam kandungan nyaman, dia tidak perlu nangis, tidak perlu ngomong, semua sudah terpenuhi. Begitu lahir dia akan mengetes dunia luar, ibu ini memenuhi kebutuhannya tidak sih.

(baca: 5 Alasan Anak Harus Minum Susu)

“Jadi kalau yang diterima adalah perlakuan yang kasar, yang tidak lembut, tidak penuh kasih sayang, lalu ketika dia butuh apa tidak dipenuhi, dibiarkan nangis berjam-jam, yang akan terbentuk adalah mistrust atau rasa tidak percaya pada ibu. Jadi dia beranggapan kalau lingkungan tidak sayang sama dia. Dan ini yang menyebabkan gangguan psikologi nantinya,” katanya.

Vera menjelaskan gangguan psikologis datang di usia berikutnya. Misalnya anak jadu tidak percaya diri, tidak bisa bersosialiasi, sering buat ulah, cari pehatian dan lainnya. Atau jika sudah dewasa, dampaknya anak jadi takut menikah, karena dia takut komitmen. “Mungkin kalau ditelusuri kebelakang proses perlekatan yang terganggu,” ujarnya.

Tapi jika sebaliknya kebutuhan anak terpenuhi dan dia mendapatkan perlakukan lembut, maka yang timbul rasa percaya atau trus kepada ibunya. “Hubungan kepercayaan dengan ibu adalah dasar dari segalanya. Jadi bagaimana dia belajar percaya pada orang lain,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement