REPUBLIKA.CO.ID, Film animasi terbaru dari rumah produksi ‘Pixar’, yakni ‘Inside Out’, disebut-sebut lebih dari sekedar hiburan di musim liburan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan psikolog ternama, Dacher Keltner, film ini menantang asumsi kita pada kebahagiaan dan apakah cerita atau kehidupan, secara realistis, bisa berakhir bahagia selamanya.
Film ini bercerita tentang gadis 11 tahun bernama Riley, yang tersandera lima konflik emosi. Yakni, sukacita, marah, jijik, sedih dan takut. Sementara ia berjuang untuk hanya merasakan sukacita atau kebahagiaan, segera tergambar jelas bahwa hal ini adalah strategi ang ditakdirkan untuk gagal.
Dr Lisa Williams, seorang psikolog sosial di Universitas New South Wales, mengatakan, ia yakin film ini membawa pesan serius tentang mengejar kebahagiaan dan semua upaya yang melingkupinya.
"Saya pikir pesan utama dari film ini mungkin kita perlu mengenali ketika membesarkan anak-anak kita, atau ketika mencoba untuk merancang kehidupan kita sendiri, apakah prioritas kebahagiaan kita dan upaya untuk mengejarnya benar-benar merusak kesejahteraan kita,” tuturnya.
Ia begitu menekankan pada apa yang disebut "perkiraan afektif", kondisi di mana kita berharap sebuah kejadian di luar memberikan kebahagiaan kepada kita.
"Ketika kami memprediksi bagaimana kita akan merasa ketika sesuatu besar terjadi dalam kehidupan kita - mungkin promosi atau perceraian - kami memperkirakan bahwa itu akan memiliki dampak besar pada emosi kita, bahwa kita akan merasa benar-benar senang atau benar-benar sedih,” ungkap Dr Lisa.
Ia menambahkan, "Ternyata ketika hal itu benar-benar terjadi, mereka memiliki efek yang lebih sedikit."
Pengalaman negatif membuat kejadian positif lebih spesial
Kesimpulan yang sama dicapai oleh psikolog Australia lainnya, Dr Brock Bastian- yang menulis buku ‘On Happiness: New Ideas For The 21st Century’, yang diterbitkan pekan ini- bahwa banyak dari kita memiliki ide yang salah tentang kebahagiaan. "Saya pikir dari mana datangnya kerusakan nyata adalah ketika manusia merendahkan emosi negatif," kata Dr Brock.
Ia mengatakan, ia mempelajari emosi positif pada 9.000 orang di 49 negara dan menemukan kesamaan yang luar biasa.
"Seringkali, pengalaman negatif lah mengimbangi pengalaman positif dan membuat mereka lebih istimewa dan lebih baik," tuturnya.
Ia menerangkan, "Jadi, Anda benar-benar harus mengalami berbagai hal, dan apa yang kita cenderung lakukan adalah mencoba untuk menekan atau lari dari pengalaman negatif dan yang itulah yang sebenarnya membuat kita lebih tak bahagia."
Satu-satunya jawaban, menurut Dr Lisa, adalah untuk mengejar "eudaimonia" atau "kehidupan yang baik", sebagaimana disebutkan oleh Aristoteles pada abad 350 sebelum Masehi. "Alih-alih mengejar kehidupan bahagia, jika kita mengejar kehidupan yang penuh kebajikan dan makna dan perjalanan, maka mungkin, rasa hedonis dari kesenangan akan terjadi sebagai produk akhirnya," kemuka Dr Lisa.