REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia kuliner di Indonesia saat ini sedang berkembang. Begitu bermacam jenisnya, baik dari masakan lokal hingga mancanegara.
Namun Bisanya masakan lokal identik dengan masakan yang dianggap derajatnya lebih rendah dari masakan luar.
"Kan biasanya makanan Indonesia dianggapnya sebagai nomor dua," ujar Jeffry Sie selaku pemilik warung Gudeg Yu Nap yang menjadi salah satu wakil Indonesia pada ajang World Street Food Congress 2015 (WSFC 2015) di Singapura.
Namun hal tersebut bisa dipatahkan dengan masuknya masakan-masakan Indonesia ke ajang kuliner Singapura pada Aprli lalu. Menurutnya banyak pelajaran yang didapatkan dengan mengikuti ajang Internasional seperti WSFC.
"Di sana yang paling kerasa kebersihannya, kalau di Indonesia dapurnya tradisional, segala sesuatunya pakai kayu bakar kotor, kita kalau pake gas saja cukup bagus, tapi mereka justru menghindari gas, mereka lebih baik pakai listrik," ujar Jeffry pada acara Festival Jajanan Bango di pintu Barat Stadion Gelora Bung Karno, Ahad (14/6).
Ia menjelaskan bahwa standar yang diberikan pihak luar memang sangat berbeda dengan di Indonesia. Beberapa peraturan seperti wajib mencuci tangan sebelum memasuki dapur dan saat memasak, dilarang menaruh masakan kurang dari 30 sentimeter dari tanah, dan membedakan setiap talenan dilihat dari jenis bahannya, menjadi perhatian dan pelajaran berharga yang masih sulit didapat di festival-festival kuliner Indonesia.
Selain itu, penggunaan air pun dijaga dengan baik. Saat membuka tenant di acara WSFC, ia harus menggunakan dua jenis air yang berbeda, pertama air yang bisa digunakan memasak dan langsung diminum, kedua, air yang hanya bisa digunakan sebagai pencuci alat masak karena sudah terkandung bahan kimia.
Indonesia memang masih perlu banyak belajar dengan pengelolaan tempat, tetapi tidak menutup kemungkinan beberapa tahun lagi Indonesia bisa memajukan masakan lokal dengan penanganan internasional.