REPUBLIKA.CO.ID, Konsumen di Australia mengkonsumsi setiap tahunnya membeli 200 juta telur yang berlabel 'free range' atau telur ayam kampung. Namun sebenarnya telur tersebut tidaklah benar-benar dihasilkan oleh ayam yang bebas bergerak dan tidak dikurung.
Menurut lembaga pelindung konsumen di Australia Choice, banyak perusahaan telur memanfaatkan sentimen pasar yang menghendaki produk yang lebih 'alami' namun karena tidak adanya standar nasional maka istilah 'free range' itu banyak disalahgunakan.
"Untuk pertama kalinya kami bisa bisa menghitung jumlah telur yang dijual di Australia yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria 'free range', dan yang terjual tahun lalu adalah 213 juta telur," kata juru bicara Choice Matt Levey.
Choice mengatakan The Australian Egg Corporation Limited mengakui bahwa sepertiga dari apa yang dikategorikan sebagai produksi telur 'free range' sebenarnya berasal dari kandang yang berisi 20 ribu ekor ayam petelor per hektar.
Padahal menurut petunjuk yang dikeluarkan oleh industri yang dimaksud dengan telur 'free range' adalah bila ayamnya berada di dalam kandang per hektare tidak lebih dari 1.500 ekor. Ketika Choice menganalisa 55 produk telur 'free range', 20 perusahaan menolak memberikan informasi mengenai berapa jumlah ayam petelur di peternakan mereka. Dua puluh satu peternakan 'free range' mengatakan mereka memiliki hampir 10 ribu ekor ayam per hektare.
Hanya 14 dari 55 peternakan yang mengikuti petunjuk yang ada dengan memelihara 1.500 ayam per hektare. "Ini semua jadi lelucon," kata Levey.
"Beberapa produsen betul-betul memanfaatkan keinginan masyarakat Australia membeli produk yang lebih etis, namun tidak memenuhi standar yang ada."
Menurut Choice, dari sisi harga, satu butir telur 'free range' adalah 99 sen (hampir Rp 10 ribu), sementara telur biasa (caged egg) adalah 55 sen (sekitar Rp 5.500). Para menteri soal perlindungan konsumen dari semua negara bagian di Australia akan bertemu di Melbourne hari Jumat untuk mengkaji penerapan kode nasional bagi telur 'free range" ini.