REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa waktu lalu sempat beredar berita diinternet ada seorang anak perempuan berusia enam tahun yang gila. Bahkan anak ini terpaksa harus masuk rumah sakit jiwa.
Dari isu yang beredar tersebut, dijelaskan penyebab gangguan jiwa pada anak ini karena obsesi ibunya yang memberikan pelajaran tambahan di usia nya yang masih belia.
Ia terlalu banyak dimasukkan dalam les diluar jam sekolah, mulai dari les bahasa Inggris, les matematika bahkan sampai mengaji.
Berkaca dari berita tersebut, entah benar atau hanya berita bohong, sebagai orang tua kita harus berhati-hati. Jika memang berita tersebut benar adanya, tentu orang tua perlu mengoreksi diri. Apakah anak kita juga mengalami hal serupa, diikutkan dengan serangkaian kegiatan akademik yang akhirnya membuat anak stress bahkan gila.
Psikolog Anak, Ine Indriani, M.Psi, mengakui tak sedikit orang tua yang memasukkan anandanya ke berbagai les, baik les bahasa inggris, matematika maupun mengaji. Bahkan ada juga orang tua yang memaksa anaknya yang usianya masih terlalu dini untuk les. Apakah itu baik atau justru akan membuat anak stres?
Ine mengatakan kalau les yang diberikan terlalu dini dan mengesampingkan hak dan kebutuhan anak untuk bermain, tentu tidak baik. Usia balita, lanjutnya, adalah usia bermain. Itu adalah hak dan kebutuhan anak. Bermain fungsinya untuk mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa imaginatif serta emosi sosial.
Usia ini kemampuan sensori motorik masih sangat perlu diperhatikan untuk kesiapan belajar menjelang SD. Kalau terlalu diforsir ke area kognitif, area lainnya jadi kurang berkembang. Seperti kemampuan meregulasi emosi sosial, mengatasi stress dan lainnya.
"Anak yang dibebani sesuatu yang terlalu berat tentu akan membuat anak terbebani dan jadinya bisa memicu stress," ujarnya kepada Republika, Jumat (28/11).
Ia menambahkan kalau orang tua ingin mengikutsertakan anak dalam les, orang tua perlu refleksi diri dulu. Itu les beneran tujuannya ngembangin potensi anak atau obsesi orang tua semata. "Kalau obsesi orang tua, maka harus hati-hati," ujarnya.
Ine menegaskan orang tua jangan ikut-ikutan tren, tapi ternyata tidak cocok dengan kepribadian dan potensi anak. Perhatikan juga lesnya apakah membuat anak senang atau stress. Sesuai tidak lesnya dengan usia dan minat anak.
"Orang tua muda harus kritis jangan ikut-ikutan tren semata, misalnya usia tiga tahun sudah les baca tulis hitung (calistung)," tambahnya.
Selain itu, lihat gurunya, apakah guru tersebut mengerti pekembangan anak kita atau tidak.