REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keluarga yang tidak berhasil mempertahankan keutuhannya, seperti perceraian, kerap memberikan pengalaman traumatis terhadap anak. Dan, hal ini akan mempengaruhi perilaku mereka ketika dewasa. Bahkan lebih jauh, bisa mempengaruhi cara mereka mendidik anak.
Kondisi ini akan timbul jika mereka tak bisa memaafkan masa lalu mereka. Akibatnya anak akan menjadi orangtua dengan mengulang pola didik orangtua mereka dulu. Hal ini justru menimbulkan situasi yang tak stabil dan rentan pertengkaran karena mereka meluapkan kekecewaan mereka pada keluarga yang mereka bangun.
Menurut Efnie Indrianie, psikolog anak, hal tersebut terjadi karena otak anak terlanjur matang dan permanen. Sehingga pengalaman traumatis mereka tidak sempat tersembuhkan. Untuk menyembuhkannya, mereka perlu melakukan terapi yang intensif.
Salah satu terapi yang bisa digunakan adalah menulis. Pasien akan menulis dan memetakan kejadian-kejadian yang ia anggap traumatik dan meluapkan hal-hal yang dikeluhkan. Terapi ini, menjadi cara agar kontrol emosi pasien tetap stabil.
“Tapi untuk bisa sembuh, si pasien ini harus sabar, karena akan memakan waktu lama,” kata Efnie, dalam acara Media Gathering Oreo #AsyiknyaBersama, Rabu (3/9).
Lebih jauh, Efnie menyatakan ciri-ciri orang yang mengalami pengalaman traumatis saat kecil. Umumnya, orang-orang ini kerap mencari perhatian, marah jika tak diperhatikan orang terdekat, dan bersikap posesif. Dalam kondisi tertentu, sifat-sifat ini justru bisa merusak hubungan mereka dengan orang lain.
Batas kematangan otak wanita adalah 21 tahun, dan pria 25 tahun. Sebelum melewati batas ini, kata Efnie, orang-orang traumatis ini bisa disembuhkan melalui situasi keluarga yang lebih hangat, tanpa harus melalui terapi.