REPUBLIKA.CO.ID, Kalau Anda ingin melihat tempat-tempat bersejarah di Jepang, salah satu kota yang bisa dituju adalah Kyoto. Kota yang dulu pernah menjadi ibu kota Jepang selama lebih dari 1.000 tahun ini bisa disebut sebagai perpaduan Yogyakarta dan Bali.
Tak hanya memiliki ba ngunan-bangunan bersejarah, Kyoto juga menjadi gudangnya seni, budaya, agama, dan pemikiran masyarakat Jepang.
Begitu tiba di pusat kota Kyoto, banyak lokasi yang bisa saya datangi. Seperti melihat Istana Kekaisaran Kyoto, yang dikenal sebagai pusat arsitektur Jepang karena kesederhanaannya. Tapi, untuk bisa masuk ke kawasan ini, saya perlu meng ajukan izin terlebih dahulu.
Tidak jauh dari Istana Kekaisaran Kyoto, saya juga langsung bisa melanjutkan perjalanan menuju ke Benteng Nijo, yang pernah menjadi tempat tinggal Shogun Tokugawa.
Puas melihat-lihat Istana Nijo, saya melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi bangunan kuil bersejarah di sana. Di Kyoto memang gudangnya kuil bersejarah. Ada sekitar 1.700 kuil di dalam Kota Kyoto.
Dari sekian banyak kuil, saya menjatuhkan pilihan ke Kuil Kinkakuji dan Kuil Ciohin. Kuil ini posisinya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Kyoto sehingga saya bisa mudah menjangkaunya dengan menggunakan taksi atau kendaraan umum lainnya.
Kuil Kinkakuji berada di Kyoto Barat. Perjalanan ke kuil ini dengan menggunakan taksi bisa ditempuh kurang dari 30 menit. Di tempat ini saya bisa melihat indahnya kilauan emas yang melapisi bangunan paviliun Kinkakuji. Saya juga bisa menikmati keasrian alam di sekitar kawasan tersebut.
Sementara peninggalan bersejarah yang bisa saya lihat di Kuil Ciohin adalah gong raksasa yang diberi nama Daishoro. Gong ini sudah berumur hampir 800 tahun. Sayangnya, saya datang pada waktu yang tidak tepat.
Seandainya datang pada 31 Desember, saya akan bisa menyaksikan upacara pemukulan gong sebanyak 108 kali oleh 17 orang pendeta. Mereka memiliki kepercayaan bahwa dalam diri manusia ada 108 roh jahat. Jadi, roh jahat itu harus diusir dengan memukul gong sebanyak 108 kali.
Tak hanya wisata tempat bersejarah. Di Kyoto, turis bisa menikmati sejumlah kesenian, tradisi, masyarakat, maupun gaya hidup masyarakat setempat.
Masih banyak rumah-rumah kuno Jepang yang masih berdiri. Rumah-rumah itu terpelihara karena Pemerintah Kota Kyoto memang melarang warganya untuk mengubah bentuk rumah tradisional yang masih ada di sejumlah kawasan.
Salah satu tempat yang saya tuju untuk melihat tradisi di Jepang adalah Gank Gion. Kawasan ini memang dikenal sebagai tempat hiburan malam di Kyoto. Di tempat ini saya melihat masih banyak bangunan rumah bergaya Jepang masa lalu.
Rumah-rumah sebagian besar dimanfaatkan untuk dijadikan restoran. Tak hanya menyediakan makanan dan minuman tradisional Jepang, di sejumlah rumah di Gank Gion juga menampilkan Geisha maupun Maiko untuk membawa kan tarian Jepang.
Upacara adat yang berkait dengan agama Buddha juga masih bisa ditemui di sana. Salah satunya adalah upacara membakar pohon di Gunung Daimongziyama. Setiap 16 Agustus, masyarakat Kyoto akan melakukan upacara membakar pohon yang dibentuk menyerupai tulisan “dai” yang artinya besar, di bagian gunung tersebut.
Upacara ini dilakukan terkait dengan kepercayaan melepas roh nenek moyang. Pada 13 hingga 15 Agustus, mereka mempercayai roh nenek moyang akan kembali ke rumah. Nah, untuk mengantarnya kembali ke alam baka mereka melepasnya dengan membakar pohon di Gunung Daimongziyama.
Selama berada di Kyoto, saya merasa Kyoto tak ubahnya perpaduan Yogyakarta dan Bali di Indonesia. Sama seperti di Bali dan Yogyakarta, masih banyak peninggalan bersejarah, budaya, maupun tradisi lama yang saya temukan di Kota Kyoto.