REPUBLIKA.CO.ID, Jejak kanibalisme masyarakat PNG mengakhiri kunjungan saya ke Atolou. Esok harinya, saya langsung kembali airport hopping menuju Bandara Tokua dan kemudian menggunakan jalur darat ke Kota Rabaul dan Kokopo. Dua kota ini bertetangga dan memiliki pengalaman dengan erupsi gunung berapi. Karenanya, saya lebih suka menyebutnya Volcano Towns.
Pada 1994, dua gunung berapi, yaitu Tavurvur dan Vulcan, mengeluarkan erupsi secara bersamaan dan menghantam sebagian besar Kota Rabaul. Kota pun akhirnya ditinggalkan dan terpaksa dipindahkan ke Kokopo.
Kini, sisa-sisa abu vulkanik dan bangunan yang rusak dari kota yang katanya terkenal ramah dan indah tersebut masih bisa terlihat.
Meskipun masih ada beberapa yang tinggal dan memanfaatkan hasil erupsi dua gunung tersebut, di antaranya Hotel Rabaul. Ini merupakan satu-satunya hotel yang masih beroperasi di kota tersebut dengan jarak perjalanan sekitar 45 menit dari Bandara Tokua. Hotel ini mencoba bertahan dengan menawarkan pemandangan gunung berapi dan abu vulkanik yang menutupi hampir setiap tempat.
Berkendara sekitar 10 menit dari hotel, wisatawan juga bisa mene mukan sumber air panas yang langsung keluar dari bumi. Sumber air panas ini berada tepat di bibir pantai dengan pemandangan Gunung Tavurvur dan Vulcan. Air panas ini kemudian bercampur dengan air laut sehingga menjadi hangat dan menggoda untuk siapa pun yang datang untuk beredam sambil menikmati pemandangan.
Sedangkan di Kokopo, pelancong bisa sedikit memuaskan dahaga untuk berbelanja. Karena, kota ini menawarkan banyak tempat membeli barang. Meskipun, kebanyakan merupakan pusat belanja supermarket dan hipermarket yang menyajikan barang rumah tangga, makanan, serta pakaian.
Namun, Kokopo juga memiliki satu pasar tradisional yang kebanyakan menawarkan buah-buahan dan pakaian. Berbeda dengan Jakarta, pasar tradisional ini cukup rapi. Setiap pedagang menjajakan dagangan di bangunan terbuka yang telah disediakan. Menariknya, di pasar ini semua dagangan dijual satuan, termasuk rambutan. Harganya sekitar dua kina (lebih kurang Rp 8.000) untuk empat buah rambutan.
Jika ingin merasakan kehidupan yang lebih modern, sebaiknya datang ke Port Moresby. Ini merupakan kota terakhir dari kunjungan saya di PNG. Di sini, saya melihat kehidupan yang lebih kompleks ketimbang kota-kota lain yang telah saya kunjungi. Misalnya, jalan raya yang sudah banyak berbeton, pusat perbelanjaan yang lebih luas, dan satu hal lagi, restoran atau tempat makan. Restoran yang layak memang terbilang sulit ditemukan di kota-kota lain di PNG.
Terlihat pula barisan hotel dan apartemen yang konon harganya selangit. Bayangkan, untuk menyewa satu apartemen di kota ini bisa sampai harus mengeluarkan Rp 100 juta per bulan. Karena itu, apartemen seperti ini biasanya hanya untuk kaum ekspatriat yang memiliki pendapatan jauh lebih tinggi ketimbang penduduk lokal.
Ironis memang meskipun telah merdeka dari Australia sejak 1975, ternyata di negara ini masih ada perbedaan perlakuan antara orang Barat dengan penduduk lokal. Muhammad, seorang manajer di hotel tempat saya menginap, mengatakan, warga negara Eropa dan Australia, memiliki akses penuh untuk semua akomodasi yang ada di PNG. Mulai kepemilikan rumah dan sebagainya.
Bahkan, gajinya pun jauh lebih besar ketimbang orang lokal. Termasuk juga, jika dibandingkan dengan orang Asia Tenggara. “Di sini, orang pakai paspor Australia atau negara Barat lain dibayar dengan dolar, sementara orang lokal dibayar dengan kina. Nominalnya juga berbeda jauh,” kata pria kelahiran Malaysia yang telah menjadi warga negara Selandia Baru tersebut.