REPUBLIKA.CO.ID, Saya diajak untuk menikmati air terjun dan gua tengkorak (skull cave) yang tak jauh dari resor. Tak banyak hal istimewa dari air terjun yang saya lihat, yang menarik justru skull cave.
Gua ini terletak di bagian utara resor dengan perjalanan sekitar 30 menit menggunakan boat serta berjalan kaki. Untuk menuju ke gua ini, pelancong harus melalui desa masyarakat setempat yang masih tradisional.
Tampak rumah dan dapur warga yang masih terbuang dari pepohonan. Beberapa warga setempat juga tampak duduk-duduk santai di pelataran ru mahnya yang berlantai tanah beratap pohon-pohon besar. Perjalanan juga harus menembuh hutan dengan barisan flora besar dan diiringi suara burung-burung yang mengawasi dari balik dedaunan.
Tak terlihat sesuatu yang istimewa di mulut gua. Hanya terlihat lubang besar di dinding batu dan tak terlihat apa pun selain kegelapan. Namun, beranjak masuk, baru saya tahu alasan mengapa gua ini disebut dengan nama skull cave. Di dalamnya, terdapat ratusan tengkorak manusia yang tergeletak berantakan.
Pemandu kami menceritakan, dulu masyarakat sekitar tinggal di gua-gua. Satu gua biasanya diisi oleh beberapa kelompok yang tinggal secara bersama-sama. Setiap malam, mereka keluar untuk berburu ke gua-gua lain.
Buruannya tak lain, yakni manusia dari kelompok lain. Mereka akan membunuh korbannya, laki-laki, perempuan, termasuk anak-anak, dan kemudian memakan dagingnya.
Tulang belulang korbannya kemudian dibuang. Namun, khusus tengkorak, sengaja disimpan sebagai piala. Kelompok yang bisa mengumpulkan tengkorak terbanyak, akan dianggap sebagai pemenang dari lomba perburuan manusia tersebut.
Sekilas, terpikir oleh warga yang tinggal di sekitar gua yang sempat kita lewati. Apakah mereka masih melakukan kanibalisme? “Praktik kanibalisme ini berhenti kira-kira setelah para misionaris dari Eropa datang. Sekarang sudah benar-benar tak ada,” ujar si pemandu. Saya langsung lega.