Selasa 25 Mar 2014 21:19 WIB
Kunjungan ke Australia

Perth dan Cerita Sopir 13Cabs

Taksi di Perth
Foto: theaustralian.com.au
Taksi di Perth

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fernan Rahadi

Saya berbicara dengan John saat kami bergegas meninggalkan King's Perth Hotel menuju Perth Airport, Selasa (25/3) pagi itu. Kami harus mengejar pesawat tujuan Melbourne yang berangkat pukul sembilan pagi.

John dengan cekatan membantu menaikkan koper seberat kurang lebih 10 kilogram ke dalam taksinya. "Jangan khawatir, ini tidak seberapa," ujar pria berambut putih itu saat berusaha dibantu.

Meskipun John bertubuh tinggi-besar seperti orang Australia keturunan Eropa pada umumnya, dari garis wajahnya saya menebak usianya sudah di atas 60 tahun. Namun ia tampaknya tidak mau dianggap tua. 

"Saya sudah menjadi sopir taksi sejak 30 tahun lalu. Semua orang di sini tampaknya belum lahir saat itu" ujarnya sambil tertawa.

Sebagian besar para sopir taksi di Perth adalah lelaki di atas 50 tahun. Menurut John, orang-orang muda di kota itu saat ini tidak lagi berminat jadi sopir taksi. Mereka lebih memilih pekerjaan lain untuk mencari uang seperti bidang manufaktur, agrikultur, dan pariwisata.

"Menjadi sopir taksi memang bukan pekerjaan yang mendatangkan banyak uang. Akan tetapi saya menikmatinya seperti nikmatnya kota ini. Anda setuju?," katanya. Saya pun hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Perth saya akui merupakan kota yang nyaman. Wajar jika kota ini menjadi kota kedelapan dalam daftar kota paling nyaman untuk dihuni di dunia (The Economist 2011). Meski terdapat cukup banyak pengguna mobil, namun hampir tidak ditemukan kemacetan berarti.

Perjalanan ke bandara pagi itu hanya dicapai dalam waktu 15 menit. Padahal jarak dari hotel ke bandara mencapai 15 kilometer. Saya membayangkan berapa waktu yang harus ditempuh seseorang yang tinggal di jakarta dengan taksi untuk mencapai Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

Sehari sebelumnya, saat rombongan kami dari hotel menuju ke Tranby College di Baldivis, Western Australia, yang berjarak 60 kilometer, waktu tempuh kami hanya sekitar 45 menit. Jalan-jalan di Australia Barat terlihat lengang meskipun mayoritas pengguna jalan adalah mobil. Saking heningnya, saya sampai tertidur dalam perjalanan singkat tersebut.

Saat kami tiba pertama kali di Perth Ahad (23/2) malam, saya juga melihat sendiri bagaimana kota dengan populasi terbesar keempat di Australia (setelah Sydney, Melbourne, dan Brisbane) itu mirip kota mati di malam hari. Jalanan lengang dari kendaraan dan hampir tidak dijumpai manusia di pinggir jalan. 

Perjalanan kami ke Tranby menghabiskan uang sebesar 300 dolar Australia (sekitar Rp 3 juta) hanya untuk sekali pulang-pergi. Seorang siswa di Trandby yang saya temui mengaku kaget dengan biaya yang kami keluarkan. Ia heran mengapa rombongan kami tidak memilih Transperth (sebutan untuk transportasi publik di Perth) yang biayanya jauh lebih murah. Jawabannya memang untuk mempersingkat waktu mengingat jadwal kami sangat padat.

Saya kemudian menanyakan kepada John apakah mahalnya biaya menyewa taksi adalah hal yang lumrah di Australia. "Tentu saja," katanya mantap. "Rata-rata sopir taksi di sini harus menyetor sedikitnya 30 dolar per minggu kepada pemerintah sebagai biaya sewa lisensi mengoperasikan taksi," ujar John mengungkapkan alasannya.

John mengaku beruntung karena dirinya tidak harus membayar setoran tiap minggu kepada pemerintah negara bagian Australia Barat yang memang secara khusus mengurusi transportasi umum, di luar masalah jalan, penjara, perumahan, dan kepolisian serta jasa ambulans. 

Tidak seperti kebanyakan sopir taksi lainnya, John membeli lisensinya sebagai sopir taksi. Menurut dia, harga sebuah mobil tidak ada apa-apanya ketimbang membeli lisensi tersebut.

"Saya harus mengeluarkan uang sebesar 15 ribu dolar (Australia) (sekitar Rp 156 juta) untuk membeli lisensi tersebut. Dengan lisensi tersebut saya tidak harus membayar sewa tiap pekan. Selain itu saya bebas memperlakukan mobil saya sendiri karena jika terjadi sesuatu maka itu hanya akan jadi risiko saya sendiri bukan pemerintah," kata dia. 

Tanpa terasa, taksi bermerek 13Cabs warna kuning tersebut sudah memasuki area Perth Airport. Setelah teman saya memberikan uang sebesar 29 dolar (Rp 300 ribu) kepada John, saya langsung mengucapkan terima kasih atas tumpangan plus ceritanya yang menarik mengenai kehidupannya di Perth. 

Sayang, tidak terlintas saat itu di benak saya untuk mengambil foto John beserta taksi yang menjadi kebanggaannya itu. Pikiran saya sudah berada di Melbourne, meskipun saya akui hati saya masih tertambat di ibu kota Australia Barat itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement