Oleh Erik Purnama Putra
REPUBLIKA.CO.ID, Saya cukup terperangah mengetahui bukti jejak peninggalan sejarah Madiun kuno kondisinya memprihatinkan. Apa pasal? Ini lantaran lumpang batu berbentuk bulat yang menjadi catatan adanya sebuah peradaban zaman dulu dibiarkan tergeletak begitu saja di pelataran rumah.
Padahal, di sisi luar lumpang terdapat ukiran bertuliskan 1340 saka atau 1418 masehi. Situs itu adalah peninggalan Kerajaan Gegelang yang wilayahnya tunduk pada kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kerajaan beraliran Hindu itu runtuh menjelang awal abad ke-16.
Semakin surutnya pengaruh Majapahit, Kerajaan Gegelang ditundukkan Kesultanan Demak hingga hanya meninggalkan beberapa prasasti yang tersisa sebagai bukti adanya peradaban pertama di Madiun.
Situs bersejarah ini ditemukan di Dusun Tambak Boyo, Desa Ngurawan, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun. Butuh waktu 45 menit dari pusat kota untuk mencapainya.
Daerah ini cukup mudah dijangkau transportasi lantaran berada di jalur utama Madiun-Ponorogo. Dari jalan raya, hanya butuh waktu 5 menit dengan menggunakan sepeda motor untuk sampai ke area situs.
Ketika berkunjung pada akhir April lalu, lumpang yang dulunya berfungsi sebagai tempat menumbuk padi beralih fungsi ebagai pot bunga. Karena sudah berpuluh tahun, akar pohon beringin semakin mencengkeram erat setiap sisi lumpang.
Meski lumpang berdiameter hampir 1 meter dengan ketebalan 10 centimeter, bukan tidak mungkin beberapa tahun lagi bakal retak dan hancur kalau terus dibiarkan begitu saja.
Pasalnya, situs bersejarah itu sudah berpuluh tahun tergeletak di pelataran rumah Ibnu Huda yang menjadi satu kompleks dengan Masjid Maqomul Hidayah. Ibnu Huda adalah pengurus masjid yang menjadi generasi kelima dari Zainal Abidin, seorang ulama yang merupakan perintis berdirinya Desa Ngurawan pada abad ke-18.
Juru pelestari situs Ngurawan Syaiful Huda mengaku tidak bisa berbuat apa-apa terkait nasib lumpang itu. Ia bukan bermaksud lepas tangan, namun tidak tahu harus bersikap bagaimana menyikapi situs paling tua di wilayah eks Karesidenan Madiun itu.
Syaiful tidak berani mengingatkan pemilik rumah - orang paling dihormati di desanya - agar memfungsikan lumpang sebagaimana mestinya.
Begitu pula, kata dia, petugas Balai Pelestari Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan yang pernah mendata situs tersisa tidak bisa berbuat apa-apa melihat kenyataan itu.
Ia hanya berharap, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Madiun yang selama ini abai untuk memperhatikan situs bersejarah itu agar kondisinya bisa lebih baik lagi. “Lumpang ini sudah tidak terurus sejak lama, dan tidak ada perhatian dari pemda,” katanya.