Oleh Erik Purnama Putra
REPUBLIKA.CO.ID, Peristiwa pergolakan di Madiun pada 1965 membawa konsekuensi berubahnya tata kehidupan masyarakat setempat.
Untuk memerangi gerakan kelompok kiri, pemerintah Orde Baru melakukan pembersihkan segala hal yang berwarna merah, yang menjadi simbol gerakan kaum buruh. Termasuk juga simbol-simbol perjuangan kaum buruh coba dienyahkan.
Salah satu peninggalan benda bersejarah yang coba disingkirkan, namun masih tetap ada adalah patung banteng ketaton. Pembuatnya adalah pematung Trijoto Abdullah pada 1947.
Patung itu dianggap mencerminkan semangat warga Madiun yang dikenal sebagai the Flame of Java dalam menghadapi agresi militer Belanda I.
Pematung kelahiran Solo pada 1917 itu menempatkan karyanya di depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Madiun yang berada di poros jalan utama Kota Madiun.
Banteng yang terlihat sedang menunjukkan ekspresi marah itu digandengkan dengan patung seorang pejuang yang membawa bambu runcing. Di penyangga patung, diberi tulisan dengan semboyan ‘rawe-rawe rantas, malang-malang poetoeng’
Namun karena dianggap sebagai ancaman penguasa, patung banteng dipindah ke kompleks Stadion Wilis, yang tidak termasuk jalur utama yang dilalui kendaraan. Sayangnya, kepindahan patung itu dilakukan secara asal-asalan. Kini, entah di mana patung banteng berdiri sendiri tanpa didampingi patung pejuang.
Itu pun kondisi patung banteng sangat memprihantinkan. Tanduk dan buntut patung sudah rusak karena tangan jahil seseorang. Ketika saya berkunjung, tanduk di sebelah kiri diberi sisa botol minuman wiski. Posisi banteng juga berubah, tidak lagi menghadap ke jalan raya, melainkan ke samping.
Menurut Koordinator Madiun Heritage Community Bernadi S Dangin, perpindahan patung karya Trijoto Abdullah itu terkait erat dengan perubahan peta perpolitikan di Indonesia.
Saat itu, karena pematung wanita pertama di Indonesia itu ditengarai memiliki kedekatan dengan kelompok kiri. Konsekuensinya, patung banteng juga dianggap simbol perlawanan terhadap pemerintahan yang baru.