Oleh Erik Purnama Putra
REPUBLIKA.CO.ID, Madiun tidak punya identitas. Kritikan tajam itu dilontarkan Koordinator Madiun Heritage Community Bernadi S Dangin. Ia cukup geram dengan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat yang kurang peduli dengan nasib benda cagar budaya di sana.
Baik Pemkot maupun Pemkab Madiun, dinilai abai dengan keberadaan situs maupun bangunan bersejarah yang tersebar di Kota maupun Kabupaten Madiun. Padahal, kata Bernadi, sejarah Madiun dapat dilacak mulai era Kerajaan Majapahit, Kesultanan Mataram, penjajahan Belanda. Mereka meninggalkan warisan yang layak dilindungi.
Sayangnya, karena tidak dilindungi pemda, semua cagar budaya itu kondisinya sangat memprihatinkan. “Parahnya lagi, Kota dan Kabupaten Madiun tidak punya museum atau bangunan untuk menyimpan cagar budaya,” cetus Bernadi.
Saya bersama fotografer Wihdan, ditemani Bernadi mencoba membuktikannya. Kawasan Pecinan yang dulu merupakan jantung ekonomi masyarakat dan dipenuhi bangunan kuno, hampir tidak berbekas lagi. Secara nyata, hanya tinggal satu rumah berarsitek Tiongkok yang masih berdiri kokoh terimpit ruko-ruko baru yang tampak megah berdiri di sepanjang jalan.
Kalau saja tidak teliti, saya bisa jadi tidak menemukan rumah kuno yang berusia seabad lebih itu. Pasalnya, gerbang rumah bercat hitam yang bertuliskan aksara Cina itu terbilang kecil sekitar empat meter.
Pada era Orde Baru, atas perintah aparat tulisan Cina di pintu gerbang dan pintu rumah ditutup. Perlu mengetukkan besi yang menempel di dinding pintu beberapa kali hingga penjaga datang.
Ketika gerbang dibuka, gonggongan dua anjing penjaga rumah menyambut langkah kami. Namun ditemani seorang penjaga rumah, saya bisa menyusuri seluk-beluk arsitek rumah mewah yang dimiliki marga Lee itu.
Saya berdecak kagum saat masuk halaman rumah yang ternyata sangat luas. Dua kilin (patung singa) di kiri kanan jalan seolah ditempatkan pemilik rumah untuk menjaga tempat tinggalnya. “Usia kilin ini dikisaran 150 tahun, dan didatangkan dari daratan Cina langsung,” kata seorang penjaga yang enggan menyebut namanya itu.
Pandangan mata saya tertuju pada dua tiang penyangga rumah di depan yang terbuat dari kayu jati berbentuk kotak. Mengacu diameter kayu seluas 30 cm dan tinggi hampir 4 meter, dapat diperkirakan usia kayu saat ditebang untuk dijadikan tiang penyangga rumah di atas 50 tahun, belum termasuk usia rumah.
“Kira-kira kayu jati yang digunakan harganya sekitaran Rp 80 juta. Untuk mendapatkannya sekarang, setiap orang harus order dulu karena sudah susah ditemukan,” kata Bernadi.
Saya iseng-iseng meninju kayu yang diplitur warna hitam itu, dan terasa masih sangat kuat. Tidak ada satu pun sisi kayu yang termakan rayap.
Rumah bertingkat dua seluas 10x20 meter ini berdinding sangat tebal, dan temboknya tidak ada yang terlihat keropos. Bahkan, di sisi kiri dan kanan rumah, terdapat dua penyangga yang terbuat dari beton setebal satu meter agar dinding rumah tidak roboh.
Secara keseluruhan, rumah ini relatif dalam kondisi bagus, meski hanya digunakan dalam pertemuan keluarga.“Saya sudah sarankan kepada pengelola rumah agar mendaftarkannya ke dalam cagar budaya, tapi mereka takut rumahnya diambil alih pemda,” terang Bernadi.