REPUBLIKA.CO.ID, “Anak kabur dari rumah,” rasanya cerita-cerita mengenai kaburnya anak-anak dari rumah lantaran bayangan tidak betah karena ketatnya peraturan pesantren kerap kali terjadi. Hal ini biasa terjadi di anak-anak yang berasal dari kota-kota besar khususnya bagi anak-anak yang tinggal di Jakarta dimana mereka biasa hidup dengan kecukupan.
Mengenai anak yang kabur dari rumah itu lantaran tidak mau dimasukan ke pesantren, sebenarnya sudah banyak sekali terjadi. Apalagi bagi anak-anak yang sebelumnya pernah tinggal di pesantren dan pernah merasakan susahnya serta disiplinnya pesantren dengan peraturan yangg ketat dan mengikat seperti tidak boleh bawa handphone dan lain-lain serta sanksi yang begitu berat ketika mereka melanggar peraturan itu. Hal-hal seperti ini yang akhirnya membuat mereka memilih untuk kabur dari rumah daripada dimasukkan pesantren.
Anak biasanya membayangkan ketersiksaan seperti dipenjara dan tidak ada kebebasan, sementara orangtua menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Orangtua ingin anaknya soleh, lebih baik dari mereka dan menjadikan ajaran agama sebagai sebuah kebiasaan, bukan siksaan atau beban. Bila anak mengancam untuk kabur dari rumah dan itu terlaksana, bila dia dipaksa kadang saya sebagai orangtua tergoda juga untuk membiarkan anak kabur dari rumah.
Toh dia akan menyesal dan dia mau tidur dimana? Makan juga tidak enak, teman mana yang mau ditumpangi lama-lama dan membayangkan siksaan lainnya yang mudah-mudahan membuat anak kembali ke rumah setelah melalui prosesi kelaparan dan kehausan serta ketidaknyamanan lainnya ketika kabur dari rumah.
Namun, pikiran buruk saya jangan diikuti, terutama bagi orangtua yang tinggal di Jakarta dan kota besar lainnya. Kalau anak kabur dari rumah ada bebaerapa resiko yang harus dihadapi, antara lain:
1. Dia terdesak tidak punya uang lalu menerima tawaran kejahatan seperti menjadi pemakai narkoba dan ketika menjadi pemakai lalu ketagihan dan tidak punya uang, maka dia akan menerima tawaran pekerjaan menjadi pengedar atau pekerjaan hina lainnya yang cukup mengerikan, menjadi gigolo misalnya atau pelacur wanita kecil, naudzubillahimindzalika atau yang buruk lainnya ikut dalam kawanan geng pencuri kendaraan bermotor.
2. Kita akan sedih, seperti kematian anak mungkin lebih sedih kalau anak kita meninggal, rasanya tidak usah khawatir, sebab dia tidak akan berbuat yang lebih buruk lagi, toh sudah meninggal.
3. Malu pada keluarga besar. Ketika acara halabihalal, anak kita tidak ada, ketika acara pernikahan pun, dia tidak muncul. Kita akan semakin tertekan melihat sanak saudara kita dalam formasi lengkap ketika halal bihalal sedangkan kita kehilangan seorang anak dan kesedihan yang sangat akan terasa setiap tahun
4. Semua anak dan saudara mungkin menuding kita tidak bisa mendidik anak sehingga anaknya menjadi buruk dan meresahkan masyarakat
5. Semua ini terjadi karena pengaruh atau dipekerjakan orang luar yang tidak bertanggungjawab dengan memperalat anak kita. Survei membuktikan anak yang kabur dari rumah, mereka mendapatkan gaji jauh dibawah UMR
Jadi, sebaiknya mengalah saja, komunikasikan dan jangan lupa setiap hari sisakan saja nasehat-nasehat keagamaan, minimal beberapa ayat dan sebuah hadist yang ibu atau ayah rutin bacakan pada si anak, lalu usahakan setiap pagi setelah subuh mengaji bersama walau hanya 3 halaman.
Yang penting, tekankan anak untuk tidak tinggal shalat 5 waktu dan membiasakan anak untuk membuka Alquran dan membaca artinya sedikit-sedikit serta dialog dan komunikasi yang baik dengan sang anak akan masuk dalam relung hati mereka. Walaupun tidak masuk pesantren, anak bisa juga kok jadi baik, asalkan ibu dan ayahnya berusaha untuk mendidik dan menjadi pribadi yang baik. Wallahu a’alm
Fifi.P.Jubilea
Founder and Conceptor of JISC