REPUBLIKA.CO.ID, Ingatkah anda cerita kerelaan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putra pertamanya, Ismail, atas perintah Allah s.w.t? Dan bagaimana Allah mengampuni Ismail dan mengangkat ia pula sebagai Nabi?
Ketika Ibrahim berkata kepada putranya ia memiliki ilham bahwa Allah ingin ia menyembelih Ismail, sang putra patuh tanpa keengganan sedikit pun. Hal yang paling luar biasa dari kisah itu adalah bagaimana Ismail begitu percaya sepenuhnya pada kebenaran ilham sang Ayah.
Beberapa anak lelaki saat ini yang akan bereaksi serupa Ismail ketika orang tua berkata pada mereka, "Tuhan menginginkan aku mengorbankan dirimu?. Mungkin sebagian akan menjawab, "Apa Bapak sudah gila?. Mereka mungkin menerima idea berkorban untuk agama, namun bakal sulit menerima keyakinan hubungan sang ayah dengan Allah, seperti yang pernah dilakukan Ismail.
Inilah letak peran penting seorang ayah dalam keluarga. Kepercayaan mendalam hanya dapat dihasilkan dari hubungan sangat dekat. Tentu saja mereka berdua nabi dan dari segi keutamaan dan kedudukan jauh dari manusia biasa.
Namun ada hal-hal besar yang dapat dipelajari oleh keluarga Muslim saat ini. Pemaparan dari ahli psikologi keluarga, Marria Husain, dari situs keluarga Zawaj berikut layak untuk dijadikan refleksi.
Menghormati Kepercayaan Keluarga
Faktor pemimpin keluarga sangat besar di sini, yakni ayah. Kini berapa keluarga yang benar-benar membesarkan anak sebagai semata-mata ibadah dan ikhlas kepada Allah? Sebaliknya berapa banyak keluarga Musim yang mengguyur anak-anak mereka dengan kencang dalam hal keuangan dan material, atau mendorong mereka untuk meraih sebanyak mungkin gaji, jabatan, kedudukan, ketenaran dan materi lain?
Banyak orang tua yang kini mengambil alih mimpi anak. Tentu orang tua ingin melihat anak mereka berhasil, sekolah di tempat baik, mendapat jodoh yang baik, tapi itu bukan segalanya dan belum tentu yang diinginkan anak.
Anak-anak saat ini dikorbankan untuk jadwal yang padat, bahkan saat mereka di usia kanak-kanak. Orang tua pun tak bisa melepaskan diri dari harapan tinggi pada anak-anak sekaligus melupakan bahwa anak-anak pun berhak menuntut dari orang tua. Padahal dalam tradisi para nabi, bila pria menghabiskan waktu bersama keluarga akan dinilai sebagai ibadah.
Cukup memprihatinkan saat ini, banyak keluarga Muslim dikorbankan karena selip pemahaman sang ayah. Pemahaman itu membuat lelaki berkeluarga meninggalkan keluarga demi aktif di komunitas luar.
Saat ini, menurut Maria Hussein, para lelaki kadang berpikir berlebihan dengan menganggap keluarga akan menghalangi kecintaan terhadap Allah, sehingga mereka berjarak dengan istri dan anak-anak. Yang terjadi, para lelaki tipe ini memang kerap terlibat dalam pelayanan komunitas, berlama-lama dalam masjd, menolong orang lain, sementara di rumah hanya berbincang sekedarnya, melakukan aktifitas seperlunya karena energi telah terkuras sebelum akhirnya tidur kecapaian.
Namun, itu masih lebih baik. Maria menuliskan ada lagi tipe yang lebih parah, meski tipe ini dan tipe di atas sama-sama tidak memandang keluarga sebagai alat untuk beribadah dan mendapat keikhlasan Allah. Tipe kedua si ayah berjarak dari keluarga karena mengejar material.
Memang, untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia, manusia harus bekerja. Namun urusan dunia bukanlah segalanya. Kedua tipe ayah di atas menurut Maria, dapat memberi dampak buruk bagi anggota keluarga lain.
Perasaan merasa diabaikan dan ditolak sangat mungkin terjadi pada anak. Bila beberapa bulan atau tahun anak-anak terbiasa tinggal tanpa ayah itu sangat beresiko. Akan muncul perasaan tidak lagi butuh sosok ayah dan akhirnya hilang perasaan kedekatan. Artinya si ayah sebenarnya telah 'kehilangan' anak mereka. Dalam kehidupan saat ini, tidak cukup bagi seorang ayah untuk hanya datang dan membawa uang lalu merasa pekerjaan sudah beres.
Baik anak lelaki dan perempuan membutuhkan waktu bersama ayah. Anak lelaki yang terabaikan oleh ayah secara psikologi cenderung mengembangkan perilaku kasar, melanggar norma dan hukum dan selip secara seksual saat remaja.
Sementara anak perempuan yang tak mendapat cukup penghargaan, perhatian dan cinta kasih ayah akan lebih rentan dari predator seksual. Hal itu karena, dibawah sadar, mereka mencari kasih sayang atau peran pengganti ayah.
Kebutuhan didorong perasaan putus asa untuk cinta kasih dan pengakuan kerap membuat remaja melakukan perilaku terlarang dan merusak. Sementara anak-anak berbahagia yang mendapat kesempatan bersama sang ayah untuk bersenang-senang, beraktivitas bersama cenderung memiliki masalah sosial. Mereka bahkan bakal mengembangkan pribadi lebih stabil dan memenuhi kewajiban pernikahan dengan baik tahun-tahun kemudian.