REPUBLIKA.CO.ID, Anak disleksia kesulitan membaca, mengeja, menulis, dan berhitung. Namun, tingkat intelegensianyanya normal atau malah melebihi rata-rata.
"Mereka masih sulit dikenali, bahkan tidak terdiagnosis oleh dokter," tutur dr Irawan Mangunatmadja SpA(K), ketua unit Kelompok Kerja Saraf Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Meski begitu, banyak anak dengan masalah membaca, menulis, dan mengeja kerap kali dikira disleksia. Padahal, belum tentu demikian. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD), anak cerdas berbakat istimewa, autisma, epilepsi tipe lena, dan anak dengan keterbelakangan mental kerap disangka disleksia. Mengapa bisa begitu?
Psikolog Mayke S Tedjasaputra menyesalkan diagnosis disleksia belum ditetapkan secara komprehensif, lintas keahlian. Ini ibarat jebakan yang bisa menjerat anak ke dalam kategori disleksia. "Diagnosis harus ditegakkan secara kerja sama, antara neurolog anak dengan psikolog," cetus psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Tes baca-tulis, lanjut Mayke belum bisa menjadi pegangan untuk menentukan disleksia tidaknya seorang anak. Sementara pemeriksaan psikologis saja kadang harus dilakukan dua kali atau lebih sampai psikolog mendapatkan gambaran utuh dari anak yang diobservasi. "Pada anak yang tidak bisa fokus meski tak hiperaktif atau pada anak dengan IQ baik tapi tampak ada penurunan, psikolog mesti menunggu, tak boleh memaksakan untuk melanjutkan tes."
Dr Purboyo Solek SpA(K) menegaskan diagnosis disleksia tidak boleh diberikan pada anak yang memiliki kecacatan. Utamanya di indera pendengaran atau penglihatan. "Juga untuk anak dengan sindrom down."
Purboyo menyesalkan terlampau banyak terapi alternatif yang disodorkan kepada orang tua anak disleksia. Padahal, semestinya anak hanya boleh mendapatkan terapi berbasis bukti (evidence based therapy). "Brain gym dan pengaktifan otak tengah yang belakangan marak dipromosikan bukan solusi disleksia," tegas konsultan Asosiasi Disleksia Indonesia ini.
Tak ada kata sembuh untuk orang dengan disleksia. Hanya saja, seiring waktu gejalanya makin samar. "Itu karena mereka berhasil menemukan cara lain untuk membaca, menulis, dan mengeja," ucap Purboyo yang konsultan neuropediatri ini.
Berikut adalah jurus kunci untuk mendeteksi disleksia:
* Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga, guru, observasi di kelas, dan pemeriksaan psikometrik mengeja, membaca, dan bahasa.
* Curigai bila ada kesulitan membaca tidak sesuai usia, kepandaian, atau pendidikannya. Juga, andaikan terdapat kesulitan linguistik, berbahasa.
* Waspadai jika anak tampak memiliki keraguan saat membaca ketika sudah kelas lima SD.
* Pemeriksaan tambahan dapat berupa tes kecerdasan, atensi, daya ingat, kemampuan bahasa umum, dan matematika.
* Optimalisasi perkembangan anak dilakukan dengan memberikan program remedial oleh guru terlatih. Bantu kesulitannya, jangan dicela.
* Mulai kelas tiga SD, terangkan pada anak tentang kekurangannya.
* Tumbuhkan sikap proaktif pada anak. Usahakan agar ia memiliki keberanian untuk mengutarakan kesulitannya. Dengan begitu, ia akan terbiasa mencari bantuan ketika kesulitan merampungkan tugasnya.
* Amati pula kemungkinan gangguan emosional. Anak disleksia kerap merasa dirinya berbeda dengan yang lain. Ulurkan tangan untuk membuatnya nyaman. Kalau perlu, ajak ia konseling, lakukan family therapy, atau berikan psikoterapi.