Senin 07 Oct 2024 11:10 WIB

Psikolog Beberkan 3 Pemicu Kasus Pemerkosaan yang Libatkan Anak Meningkat

Orang tua diimbau tak menunda pembahasaan edukasi seks kepada anak remaja.

Pemerkosaan anak d bawah umur (ilustrasi). Menurut psikolog, setidaknya ada tiga pemicu utama kasus pemerkosaan yang melibatkan anak di bawah umur.
Foto: Republika/Mardiah
Pemerkosaan anak d bawah umur (ilustrasi). Menurut psikolog, setidaknya ada tiga pemicu utama kasus pemerkosaan yang melibatkan anak di bawah umur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pemerkosaan yang melibatkan anak di bawah umur semakin sering menghiasi pemberitaan media massa. Kasus-kasus ini tentu saja menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan masyarakat dan memunculkan berbagai pertanyaan, mulai dari penyebab hingga upaya pencegahan yang efektif.

Psikolog anak dan keluarga dan juga Head of School Sekolah Cikal, Tari Sandjojo M.Psi, mengatakan dari sisi psikologis terdapat tiga pemicu utama yang membuat hal ini terjadi dan meningkat, antara lain sebagai berikut:

Baca Juga

1. Kurangnya percakapan orang tua dengan anak di fase remaja

Dalam parenting remaja, Tari menegaskan pentingnya kehadiran dan kelekatan keluarga dan keterbukaan orang tua untuk secara terbuka membangun percakapan tentang seksualitas terhadap anak-anak mereka. Namun sayangnya, pada masa kini, banyak orang tua yang cenderung menganggap parenting remaja tidak sepenting fase tumbuh kembang sebelumnya.

“Kelekatan keluarga di paling awal adalah faktor penting, namun, sayangnya kecenderungannya kini para orang tua merasa bahwa parenting teens jadi tidak sepenting parenting untuk anak-anak di usia sebelumnya.” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Senin (7/10/2024).

Dia menyebut, salah satu bentuk kurangnya kehadiran dan peranan keterbukaan orang tua adalah merasa hanya perlu mendoakan anak dan menunda-nunda pembahasan yang penting seperti halnya tentang seksualitas. “(Karena anggapan bahwa fase tumbuh kembang remaja tidak sepenting sebelumnya) orang tua jadi merasa 'Udah gede anaknya doain aja' atau 'ya udah dia memang ga butuh kita lagi', atau 'nanti aja deh dibahas'. Akibatnya, rasa ingin tahu anak terhadap seksualitas, berbagai percakapan yang melatih mereka dalam mengambil keputusan, atau diskusi-diskusi yang membangun empati, jadi tidak bisa tersalurkan,” jelas Tari.

2. Gawai dan informasi tanpa batas jadi jalan remaja penuhi jawaban

Dengan sikap orang tua yang demikian, Tari menyebut dari sana anak-anak remaja terdorong berusaha mencari tahu apa yang ingin mereka tahu melalui teknologi dan membangun percakapan dengan orang asing. “Dengan situasi zaman di mana teknologi jadi napasnya semua orang, tentunya anak remaja jadi beralih mencari panduan lewat gawai yang ada di tangannya. Namanya ingin tau, tentu dari sekadar cari informasi tentang seksualitas, eksplorasinya bisa ke mana-mana. Namanya butuh percakapan dan tidak didapat di rumah, tentunya dia cari percakapan lain lewat gawai dengan orang asing atau siapapun,” kata dia. 

Dia menyebut, kondisi yang terjadi dalam kasus pemerkosaan anak-anak di bawah umur ini menjadi bukti paparan informasi seksualitas dari sumber yang tidak tepat dan tidak adanya kehadiran keluarga yang seharusnya menjadi ruang percakapan pertama di rumah.

3. Empati yang mati dorong lakukan kekerasan

Selain dua faktor pemicu di atas, Tari juga menambahkan bahwa kondisi ekonomi juga menjadi hal yang erat kaitannya dengan kondisi psikologis dari suatu sebuah keluarga. Artinya, kerasnya hidup berdampak pada kemampuan regulasi dan rasa empati anak.

“Situasi di atas (yang saya gambarkan) bisa bertambah lagi faktornya untuk keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Bagi sebagian dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah, kerasnya hidup dihadapi dengan mengeraskan diri serta mematikan empati, sehingga banyak anak muda dalam tingkat sosial ekonomi sulit punya kemarahan dan melampiaskan ke orang lain juga dengan kekerasan,” kata dia.

Tari menjelaskan pada akhirnya tidak mudah untuk dapat memetakan pemicu mana yang bisa diperbaiki. Namun, semua pihak harus bergerak melakukan pencegahan dengan memperbaiki hubungan dan kelekatan dengan anak-anak yang beranjak remaja.

“Jadi pada akhirnya, tidak semudah itu memang menjawab yang mana duluan yang harus dibenerkan. Kalau masih punya privilege untuk melakukan pencegahan, as cliche as we always hear, maka mari perbaiki hubungan dengan remaja. Ngobrol lebih sering (ngobrol ya, bukan ngomong, kalo ngobrol itu ada faktor mendengarkan) dan melakukan observasi lebih banyak untuk liat perubahan perilaku atau emosi atau indikator lainnya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement