Ahad 03 Jun 2012 06:00 WIB

Belajar dari Tanah Bugis

Cover Novel Lontara Rindu
Foto: masgege.blogspot.com
Cover Novel Lontara Rindu

Cerita dalam Novel ini bermula ketika seorang gadis bernama Halimah dari desa Pakka Salo dan Ilham-pemuda dari Amparita- dipertemukan oleh takdir, keduanya merasa cocok dan akhirnya jatuh cinta. Dari situ konflik mulai muncul, masing-masing keluarga mereka tak menyetujui hubungan keduanya karena perbedaan keyakinan dan status sosial. Halimah dan Ilham memilih kawin lari. Halimah yang dalam keadaan hamil, memilih meninggalkan Ilham lantaran ia tahu bahwa Ilham yang hanya buruh pabrik, tak mungkin mampu menghidupinya setelah melahirkan nanti. Halimah pun kembali kepada keluarganya yang dulu.

Vito dan Vino, mereka adalah anak kembar yang lahir dari rahim Halimah. Selanjutnya, Ilham datang dan membawa pergi Vino. Di sinilah keluarga pecah, Vito bersama mamanya dan Vino ikut ayahnya. Meski setelah itu, kehidupan yang tenang mulai tampak pada rumah tangga mereka. Namun dalam ketenangan itu, sesungguhnya kedua keluarga memendam beribu-ribu kerinduan dan luka yang teramat dalam.

Kekocakan dan keharuan berjalin-kelindan sejak awal cerita hingga mampu bertahan di akhir. Tokoh-tokoh novel ini mempunyai daya tarik tersendiri dalam setiap peristiwa dan konflik yang terjadi. Vito dan teman-temannya adalah para pemuda tanggung yang begitu energik, antusias, terkadang  jail dan konyol. Guru mereka begitu menginspirasi, Pak Amin dan Bu Maulindah, selalu memberi motivasi untuk berani bermimpi setinggi-tingginya. Barangkali berani bermimpi bagi S. Gegge Mappangewa-pengarang novel ini-akan mampu melebarkan jalan menuju keberhasilan, melenyapkan kesedihan, serta meneguhkan jiwa individu itu, seperti yang mulai dipahami banyak orang sekarang.   

Kejujuran

Berbagai cerita yang tersaji dalam novel ini begitu kental dengan nilai-nilai Islam. Hal itu tampak pada kepiawaian pengarang menuliskan cerita-cerita yang bertokohkan muslim, dan beberapa di antara kisah yang diceritakan berlatarkan kerajaan-kesultanan.

Hampir pada setiap cerita yang berbeda judul mengandung pesan moral. Mungkin, kejujuran merupakan pesan moral yang menjadi dasar cerita ini karena banyak dibahas. Meski tidak menafikan, bahwa pesan-pesan moral lain juga melengkapi dalam sebagian cerita.

Kita bisa melihatnya pada ungkapan Nenek Mallomo-seorang tokoh masyarakat dalam cerita berbingkai yang diceritakan guru Amin kepada murid-muridnya. “...jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab, kujujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur." (hal. 96). Jujur dan tegas, begitu jelas pesan itu diungkapkan. 

Pesan itu seolah ingin ditujukan pada bangsa kita ini. Kejujuran memang telah lama meninggalkan kita, bangsa kita. Barangkali, pengarang novel ini mengingatkan setiap individu agar mau berintrospeksi terhadap diri masing-masing, atau mungkin lebih dari itu.

Sebuah ketegasan juga akan kita jumpai pada keputusan yang diambil oleh Nenek Mallomo. Ia memberikan vonis hukuman mati kepada anak kandungnya lantaran mencuri kayu. Terlepas dari benar atau tidaknya keputusan yang diambil Nenek Mallomo, saya tak tahu.

Dalam pada itu, sebenarnya kisah berbingkai Nenek Mallomo dalam novel ini ingin mengabarkan kepada kita bahwa pada masa lampau, di wilayah Kerajaan Sidenreng Rappang dilanda kemarau panjang lantaran seorang laki-laki mencuri kayu dan tak mau mengakui kejahatannya. Laki-laki itu, yang tak lain adalah anak Nenek Mallomo, terbukti bersalah dan dihukum mati. Hingga akhirnya, hujan turun di wilayah kerajaan Sidenreng Rappang dan menjadi makmur kembali. Begitulah keberanian pengarang novel ini dalam bercerita, meski urusan percaya atau tidak adalah pada pembaca. Tetapi kita tahu bahwa dalam setiap kisah, selalu ada nilai yang bisa kita peroleh. 

S. Gegge Mappangewa mampu menghadirkan cerita yang menarik, serta lekat dengan warna lokal Bugis, Makassar. Begitu pula dalam teknik penceritaannya, Asma Nadia (penulis 46 buku best seller) menilainya nyaris tanpa cela. Tidak berlebihan, karena pengarang dalam novel ini mampu memosisikan dirinya sebagai pencerita, menghadirkan cerita berbingkai hingga tak terkesan menggurui serta berhasil menghubungkan cerita satu dengan lainnya secara apik. Mungkin, karena itulah novel Lontara Rindu mampu bersanding dengan novel Bila Cinta Mencari Cahaya dan Tahta Mahameru yang kesemuanya menjadi novel terbaik 2012 pilihan Republika.

Rohman Kusriyono 

Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement