Kamis 26 Apr 2012 18:54 WIB

Kritik Film Bisa Melalui Puisi

Rep: palupi annisa auliani/ Red: M Irwan Ariefyanto
Puisi (Ilustrasi)
Foto: breadnmolasses
Puisi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,Festival Film Bandung yang selalu hadir setiap tahun, sejak 1987 memilih cara unik merayakan 25 tahun kehadirannya. Kali ini FFB memilih Puisi sebagai medium.

FFB menerbitkan buku yang isinya berisi sejumlah puisi. Setidaknya ada 25 penyair menuliskan puisi untuk 25 tahun Festival Film Bandung. Kutipan dari almarhum Misbach Jusa Biran, menjadi bagian sampul buku puisi film tersebut. Misbach menulis dirinya adalah orang yang menghargai idealisme. "Saya senang karena Festival Film Bandung tetap menghargai idealisme itu," ujar salah satu tokoh besar perfilman Indonesia yang awal bulan ini meninggal.

Puisi memang sengaja dipilih karena larik kata-kata ini mampu menyampaikan berbagai pandangan dengan jernih. "Puisi adalah medium yang jernih menyampaikan kritik terhadap perfilman Indonesia," kata Ketua Umum Festival Film Bandung, Eddy D Iskandar. Dia berharap kritik dalam puisi ini menjadi masukan untuk para produser film Indonesia. Lewat puisi, kata Eddy, optimisme menjadi ujung dari kemarahan dan kekhawatiran atas perfilman Indonesia.

Citra, engkaulah bayangan

Waktu subuh mendatang

Citra, kau gelisah malam

Dalam kabut suram

Syair itu dikutip Edi dalam pengantar buku ini. Syair itu berasal dari film Indonesia di zaman dulu, Citra

Waktu subuh mendatang

Citra, kau gelisah malam

Dalam kabut suram

Syair ini ditulis Usmar Ismail. Nada digubah Cornel Simanjuntak. Citra adalah film pertama karya Usmar Ismail. Citra, kemudian diabadikan sebagai nama piala penghargaan Festival Film Indonesia. Lagu 'Citra' pun menjadi lagu tema penghargaan itu.

Film Indonesia memang tak bisa lepas dari puisi. Misalnya film'Cintaku Jauh di Pulau' yang dibuat tahun 1972. Judul dan tema film ini diambil dari puisi Chairil Anwar. Film 'Cinta dalam Sepotong Roti' besutan sutradara Garin Nugroho, juga salah satu contoh film kontemporer yang bermesraan dengan puisi. Ada puisi Sapardi Djoko Damono di dalamnya.  Tak hanya Cinta Sepotong Roti, Garin pun mengangkat puisi 'Bulan Tertusuk Ilalang' karya D Zamawi Imron, dalam film berjudul sama.

Garin pun sepertinya tak bisa lepas dari puisi. Kisah hidup penyair didong Aceh, Ibrahim Kadir, saat menjalani masa hukuman 22 tahun, diangkat pula menjadi film oleh Garin. Penderitaan menjalani kehidupan penjara karena salah tangkap, tak membuat Ibrahim putus menulis puisi. Garin membesutnya ke layar lebar dengan judul 'Puisi tak Terkuburkan'.

Eddy menilai, kritik melalui puisi  justru lebih jernih cara mengkritiknya.  Ada kemarahan, kekhawatiran, tapi ujungnya optimisme. Eddy membutuhkan waktu tiga bulan untuk mengumpulkan 25 puisi tentang kritik film tersebut.

Dengan rentetan cerita itu, tak salah bila kritik film pun  dibungkus dalam rangkaian puisi. Walau ada kemarahan dan kekhawatiran, nada rindu dan renungan yang bermuara pada optimisme, menjadi warna 25 puisi untuk Festival Film Bandung. Senada walau dalam pilihan kata yang berbeda, puisi-puisi ini menggaungkan damba film Indonesia berbicara tentang orang Indonesia.

Penulis 25 puisi yang dikemas untuk memperingati 25 tahun Festival Film Bandung, juga bukan nama-nama yang tak dikenal orang. Ada Usmar Ismail, Putu Wijaya, Slamet Rahardjo Djarot, dan Hawe Setiawan, di antaranya.

Puisi Putu Wijaya yang diangkat dalam buku 25 tahun Festival Film Bandung, berjudul 'Kebangkitan'. Adalah kerinduan, keperihan, dan harapan Putu yang bersandar pada selembar layar film tua. Dalam bahasa puisi, Putu menyiratkan semangatnya membangun film Indonesia, sekalipun hanya berbekal layar tua.

Paragraf keempat 'Kebangkitan' berbunyi, 'Aku jadi kembali mendengar, merasa, dan tergoda, tapi tahu tak harus kumiliki yang tak mungkin, biar mimpi tetap hanya menggelepar di langit ketujuh dan aku hanya menjadi pelari yang mengejar, karena bukan sampai yang paling penting, tetapi melangkah tanda aku mensyukuri kehidupan karunia-nya ini.'

Di akhir puisi, Putu menorehkan, "Jangan pernah ucapkan selamat berpisah, tidak ada kata tua dalam perjuangan, singsingkan saja lengan baju kembali, kita bahu-membahu, pegang tiang bendera kuat-kuat untuk mengibaskan : layar putih itu bukan hanya hiburan tapi perenungan, genderang sudah berbunyi, kita akan bertempur lagi saudaraku, siapkan pengorbananmu karena kita harus menang'.

Budayawan Hawe Setiawan pun menyisipkan 'Memoar Bergambar' untuk Puisi Film. Berikut adalah dua paragraf terakhir dari memoar lima paragraf itu.

'Televisi dan film menjadi sihir baru bagi Indonesia kami yang tanpa Soekarno. Siaran Angkatan Bersenjata menawarkan patriotisme yang bertabur lagu pop. Tayangan 'Janur Kuning' disuguhkan buat mengelu-elukan Jendral Jawa yang tersenyum di ruang tamu kami. Bahkan, kemudian, setahun sekali kami harus belajar membenci PKI melalui tayangan film panjang pesanan Soeharto. Kami adalah bagian dari generasi di bawah rezim visual yang menimba kekuatannya dari sebuah sumur tua bau mayat di Lubang Buaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement