Senin 29 Apr 2024 20:44 WIB

Perubahan Iklim Picu Penyakit Menular dan tidak Menular, Ini Penjelasan Menkes

Perubahan iklim perlu diantisipasi melalui sistem kesehatan.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Masker (ilustrasi). Perubahan iklim dapat mendatangkan penyakit menular yang berisiko mendatangkan pandemi, serta penyakit tidak menular.
Foto: www.freepik.com
Masker (ilustrasi). Perubahan iklim dapat mendatangkan penyakit menular yang berisiko mendatangkan pandemi, serta penyakit tidak menular.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, perubahan iklim perlu diantisipasi melalui sistem kesehatan. Pasalnya, perubahan iklim dapat mendatangkan penyakit menular yang berisiko mendatangkan pandemi serta penyakit tidak menular.

Budi menjelaskan, perubahan iklim dapat memicu penyakit menular karena adanya perubahan interaksi antara hewan dan manusia. Menurut dia, semakin sering perubahan interaksi tersebut terjadi, maka akan semakin besar risiko terjadinya pandemi.

Baca Juga

"Misalnya Asia bird flu dari dulu, kemudian ada Covid katanya dari kelelawar," ujarnya usai acara penandatanganan komitmen kerja sama dengan Program Pembangunan PBB (UNDP) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jakarta, Senin (29/4/2024).

Dia menjelaskan, sebelum penyakit dari hewan-hewan tersebut tertular ke manusia, seharusnya hewan-hewan tersebut dideteksi patogennya, baik virus maupun bakteri, kemudian diteliti agar ada diagnosis, vaksin, serta obatnya. Kalau dilakukan saat sudah tertular ke manusia, katanya, sudah telat dan biayanya lebih mahal.

Budi mengatakan, perubahan iklim mendorong perubahan perilaku hewan, contohnya nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu, ujarnya, setiap kali ada El Nino, maka angka kasus dengue naik.

"Dampaknya dari perubahan iklim, El Nino tadi hanya terjadi di daerah tropis. Mungkin bisa terjadi di daerah-daerah lain. Demam berat tadi hanya terjadi di Brazil, Indonesia, dan negara-negara Afrika, mungkin nanti bisa makin lama makin naik ke atas," katanya.

Adapun untuk penyakit tidak menular, katanya, perubahan iklim dapat menyebabkan masalah gizi, karena menyebabkan kenaikan permukaan air laut, sehingga dataran menjadi lebih sempit, padahal jumlah manusia terus bertambah. Hal itu, katanya, menyebabkan lebih sedikit lahan untuk produksi makanan.

"Padahal jumlah manusia kan naik terus. Dulu manusia 100 tahun yang lalu mungkin cuma empat miliar. Sekarang udah delapan miliar. Lima tahun lagi mungkin 9 miliar. Eh, ya, 10 miliar. Itu kan perlu makan, ya. Makan dan tanahnya makin sedikit," katanya.

Contoh lainnya, kata Budi, adalah kanker kulit. Menurut dia, perubahan iklim dapat membuat lapisan ozon semakin tipis, sehingga radiasi matahari semakin tinggi. Oleh karena itu, ujarnya, mereka bekerjasama dengan pihak seperti UNDP dan WHO untuk mempersiapkan sistem kesehatan guna menghadapi ancaman-ancaman tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement