Selasa 17 Apr 2012 18:20 WIB

Melatih Anak Mengambil Keputusan, Inilah Caranya

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Heri Ruslan
Anak Bossy (ilustrasi)
Foto: themotherco.com
Anak Bossy (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Pembentukan karakter anak merupakan tugas berat yang tak bisa dipikul sendiri oleh orang tua ataupun guru. Kedua belah pihak mesti bekerja sama menjalankan suatu program yang terarah. Aplikasinya pun harus konsisten, baik di rumah maupun sekolah. Salah satu yang dapat diadopsi ialah program The Leader in Me.

Lebih dari 200 sekolah di berbagai belahan dunia menemukan Leader in Me sebagai program yang jitu untuk membentuk jiwa kepemimpinan anak. Program ini merupakan adaptasi dari prinsip 7 habits of highly efective people yang diperkenalkan suhu manajemen Stephen R Covey.

The Leader in Me membiasakan anak menjadi pribadi yang dapat diandalkan, memperlakukan siapa pun dengan rasa hormat dan kreatif mencari solusi. Selain itu, anak juga terbiasa menyimak dengan baik dan dapat dipercaya. Setelah menerapkan program  Leader in Me, pencapaian akademik siswa AB Combs Elementary School di Raleigh, North Carolina, Amerika Serikat tampak meningkat secara bermakna. Di saat bersamaan, masalah terkait perilaku siswa merosot tajam.

Pembentukan kepribadian dijalankan sesuai dengan keunik an tiap anak. Pengasuh harus membangun sikap positif dengan melihat kelebihan anak. “Bangun kepercayaan diri mereka dan hindari meributkan kesalahannya,” saran Muriel Summers, Kepala Sekolah AB Combs Elementary School dalam kunjungannya ke PSKD Mandiri, Jakarta beberapa waktu lalu.

Seperti apa aplikasinya? Summers mencontohkan keributan di rumah yang muncul gara-gara pekerjaan rumah (PR) yang terus ditunda si kecil lantaran masih asyik bermain. “Ketimbang memarahinya, ajaklah anak menyusun prioritas,” saran Summers.

Tuntun anak untuk berpikir rasional. Orang dewasa di sekitarnya bisa membantu dengan memberikan sumbangan pemikiran keuntungan dan kerugian yang menjadi konsekuensi penundaan penyelesaian PR. Metode ini dikenal dengan sebutan Plus-Delta. “Dari kasus yang akrab dengan keseharian ini, anak belajar berdiskusi, negosiasi, sekaligus mengambil keputusan,” urai Summers.

Anak memilih bermain dulu? Tak perlu buru-buru menyalahkannya. Tetaplah suportif. Biarkan anak mengambil keputusan berdasarkan pertimbangannya sendiri. Dengan begitu, anak secara sadar akan terbiasa bertanggung jawab pada keputusan yang sudah diambilnya.

Memahami prioritas akan membuat anak mampu merampungkan tugasnya secara optimal dan tepat waktu. Setelah itu, anak bisa beralih mengerjakan aktivitas kegemarannya. “Kalau anak memilih sebaliknya, pasti kan orang dewasa di sekitarnya menjadi pengawas sekaligus pengingat yang baik agar ia menuntaskan tugasnya setelah bermain,” saran Summers.

Terdengar menantang secara emosi? Ya, awalnya memang sulit. Cobalah melatih kesabaran. Sebab, dengan begitu orang tua dapat menjadi teladan dengan menunjukkan keutamaan men dengarkan dan menghargai pendapat orang lain. Proses ini juga akan membentuk pemahaman yang baik tentang pentingnya kebebasan berbicara. “Hasilnya, anak tumbuh menjadi pribadi yang terbuka dan mampu mengemukakan pendapatnya secara cerdas,” timpal Tya Adhi tama selaku direktur eksekutif PSKD Mandiri.

Selanjutnya, cari waktu yang tepat untuk mengoreksi. Cara ini sekaligus menjadi contoh bentuk toleransi. “Di lain sisi, kita juga telah memberikan pe mahaman bahwa mereka dimengerti,” ungkap salah satu orang tua murid, Astrid Tanudi satri.

Peran lingkungan

Untuk tumbuh kembangnya, anak memerlukan dukungan dari lingkungan yang positif. Sejak awal, anak sebaiknya mendapatkan pemahaman bahwa setiap individu mempunyai peran penting masing-masing dalam kehidupannya. Ini berarti anak harus belajar bekerja sama dengan banyak orang untuk bekalnya bersosialisasi. Anak pun mesti menjalankan gaya hidup yang baik.

Kebiasaan-kebiasan kecil itu harus dilakukan berkepanjangan agar berjalan efektif.

Proses tersebut akan mudah diadaptasi ketika anak mengenalnya pada usia dini. Anak ke cil terkenal gampang menyerap hal-hal baru karena belum banyak pengalaman hidup yang memengaruhi cara pikir dan perilakunya. Mereka masih mudah diarahkan oleh orang-orang yang mereka patuhi.

Tantangannya menjadi berbeda ketika kebiasaan itu baru diperkenalkan pada usia remaja. Remaja sudah memiliki beberapa pengalaman hidup meskipun belum matang. Jiwanya penuh dengan semangat eksplorasi, bahkan terkadang memberontak pada sistem. Mereka juga cenderung lebih kritis terhadap segala perubahan. “Oleh karena itu, diperlukan adanya program yang kontinu,” ujar konsultan pendidikan, Adi D Adinugroho-Horstman. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement