REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ancaman terhadap kelestarian seni budaya Betawi termasuk Kampung Portugis membutuhkan peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Peran itu tertuang dalam kebijakan pembuatan kurikulum berbasis budaya.
Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Tatang Hidayat, mengatakan kebijakan itu sudah ada, hanya saja membutuhkan penyempurnaan lebih dalam. "Penyempurnaan itu diharapkan tidak menjadikan budaya Betawi sebagai pemanis kurikulum tetapi memperkuat identitas. Itu yang kurang," ujarnya kepada Republika.co.id, Ahad (3/7).
Menurut Tatang, Undang-Undang (UU) No. 29 tahun 2007 tentang Budaya menyebutkan Pemerintah DKI memiliki kewajiban untuk melestarikan budaya. Pelestarian itu dilakukan melalui pembuatan kurikulum berbasis budaya lokal. Adapun kurikulum yang tengah didorong adalah mewajibkan pelajar mengikuti kegiatan ekstrakulikuler seperti seni tari dan pencak silat.
Selanjutnya, pelajaran muatan lokal seperti PLKJ akan berisikan materi seputar budaya Betawi, seperti misal seni musik, permainan tradisional, olahraga di kalangan Betawi serta sebagainya. "Pendidikan sekolah bisa dilakukan secara massal dan kontinyu. Itu yang tidak bisa dilakukan dalam sanggar atau lembaga budaya," kata Tatang.
Saat ini, kata Tatang, penggodokan penyempurnaan kurikulum itu sudah dilakukan dan melibatkan instansi terkait seperti Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Kementerian Pendidikan Nasional, Pemerintah DKI, dan peneliti Universitas Negeri Jakarta (UNJ). "Kami harapkan penggodokan itu cepat selesai dan segera diterapkan pada tahun ajaran 2011-2012," pungkasnya.