REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan lulusan Universitas Indonesia JJ Rizal mengungkapkan roti buaya memiliki makna simbolis dalam budaya Betawi. Roti buaya tak semata-semata simbol kesetiaan dalam pernikahan, tetapi juga untuk mengingatkan adanya masyarakat sungai atau air.
"Itu sebenarnya ada memori masyarakat Jakarta terhadap tempat air di dalam kebudayaan mereka," ujar Rizal dalam seminar daring yang dipantau di Jakarta, Selasa (27/2/224).
Jakarta diketahui dialiri sekitar 13 sungai seperti Ciliwung, Angke, Pesanggrahan. Nama-nama tempat di Ibu Kota secara tidak langsung juga mengingatkan masyarakat terhadap asal usul dan fondasi historis tempat mereka hidup yang identik dengan air seperti rawa, kali, muara, tanjung, dan pulo.
Adanya ikatan antara orang Betawi dengan unsur air disimbolkan melalui buaya. Salah satunya terwujud melalui sesuatu yang paling dekat atau privat dalam keseharian masyarakat, yakni makanan seperti roti buaya.
Pada masa lalu, lanjut Rizal, roti buaya yang dibawa pengantin pria saat perkawinannya ini sebenarnya untuk dipajang atau dipamerkan semisal di ruang tamu atau di atas lemari. Menurut dia, semakin keras tekstur roti maka semakin baik karena memungkinkan semakin panjang pula ingatan orang-orang Betawi terkait diri mereka yang lekat dengan ekologi air atau sungai.
"Kok ada buaya di rumah? Karena kita (orang Betawi) masyarakat sungai, masyarakat yang dekat dengan air. Orang hanya ingat buaya kan binatang setia, seumur hidup hanya kawin dengan satu pasangan, merawat anaknya dengan baik," jelas Rizal.
Lebih lanjut, terkait buaya, Rizal mengatakan, ada kepercayaan hewan ini tak dianggap berbahaya. Buaya diposisikan sebagai penjaga kawasan dan bagian dari keluarga besar masyarakat Jakarta dari sisi sejarah budaya.