Rabu 05 Nov 2025 21:40 WIB

Tenun Songket Melayu Sumut Terancam Punah, Akibat Susah Regenerasi?

Mencari generasi muda yang tertarik menekuni dunia tenun dinilai tidak mudah.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Eka Malia penenun kain songket Melayu sekaligus pendiri Hilwa Tenun dari Kabupaten Batu Bara.
Foto: Dok. Republika/Gumanti Awaliyah
Eka Malia penenun kain songket Melayu sekaligus pendiri Hilwa Tenun dari Kabupaten Batu Bara.

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Tenun songket Melayu dari Sumatra Utara bukan sekadar kain tradisional, namun juga simbol kejayaan masa lalu dan identitas budaya yang sarat makna. Sejak masa Kesultanan Deli, songket telah menjadi lambang status sosial bagi sultan, bangsawan, dan tokoh adat. Catatan sejarah bahkan menyebut industri songket sudah ada sejak tahun 1823.

Namun di tengah arus modernisasi, warisan ini dihadapkan pada tantangan besar yakni minimnya regenerasi. Eka Malia, pendiri Hilwa Tenun dari Kabupaten Batu Bara, mengatakan tantangan terbesar dalam industri tenun Melayu saat ini adalah kurangnya minat generasi muda untuk melanjutkan tradisi menenun.

Baca Juga

"Anak-anak muda sekarang, minim minat terhadap budaya kita ini. Seandainya penerus-penerusya udah enggak ada, kita bisa kehilangan warisan leluhur kita ya, jangan sampai nanti tetangga sebelam mengklaim ini punya mereka," kata Eka saat diwawancara Republika.co.id di Medan, Rabu (5/10/2025).

Saat ini, Eka sendiri membina sekitar 23 penenun perempuan yang sebagian besar menenun untuk membantu perekonomian keluarga. Namun mereka semua rerata berusia di atas 35 tahun. "Anak-anak muda sekarang lebih tertarik di bagian digital, tapi belum tertarik jadi penenunnya langsung, mungkin masih berproses yah," kata dia.

photo
Nur Wahidah penenun songket Melayu dan pemilik Raki Tenun dari Deli Serdang. - (Dok. Republika/Gumanti Awaliyah)

 

Hal serupa juga dirasakan Nur Wahidah (45), perajin dari kelompok Raki Tenun di Deli Serdang. la mengakui, mencari generasi muda yang tertarik menekuni dunia tenun tidaklah mudah. Menurutnya, hal ini merupakan tantangan terbesar yang dihadapi kelompok penenun songket Melayu di Sumatera Utara.

Proses pembuatan tenun songket Melayu memang sangat panjang dan rumit. Menurut Nur, setiap helai kain songket membutuhkan kesabaran dan ketelitian tinggi sejak tahap awal.

"Barang kali itu juga kenapa minat ke arah situ enggak ada. Kalau mereka memang betul-betul butuh untuk ekonomi keluarga, mereka mau belajar. Tapi kalau cuma sambilan atau belajar, biasanya tidak ada yang minat nenun," kata dia.

Nur menjelaskan, lama waktu pengerjaan satu kain sangat bergantung pada bahan dan tingkat kesulitannya. Untuk kain songket berukuran dua meter, prosesnya bisa memakan waktu antara tiga hari hingga satu bulan jika menggunakan bahan sutra. Harga satu kain songket pun bervariasi, mulai dari Rp400 ribu hingga Rp6 juta per lembar.

la mengatakan, seluruh proses pembuatan dilakukan secara handmade dari awal hingga akhir. "Prosesnya itu mulai dari benang tungkulan, lalu dipintal, lalu digulung ke papan, terus kita masukkan ke sisir, karap, segala macam. Baru kita motif, lalu kita tenun. Prosesnya panjang sekali," ujar Nur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement