Jumat 03 Oct 2025 19:20 WIB

Psikolog Beberkan Risiko Remaja Terbelenggu Gawai

Remaja itu harus punya keseimbangan antara kegiatan dengan menggunakan gadget.

Rep: Mg162/ Red: Qommarria Rostanti
Remaja bermain gawai (ilustrasi). Psikolog menilai beberapa remaja kerap menganggap bahwa bermain gadget sama artinya dengan bersosialisasi.
Foto: Republika/ Darmawan
Remaja bermain gawai (ilustrasi). Psikolog menilai beberapa remaja kerap menganggap bahwa bermain gadget sama artinya dengan bersosialisasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Psikolog Prof Dr Rose Mini Agoes Salim, M.Psi atau yang kerap disapa Bunda Romi menilai beberapa remaja kerap menganggap bahwa bermain gadget sama artinya dengan bersosialisasi. Melalui layar, mereka merasa sudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman sebaya. Namun, dijelaskan bahwa pola tersebut justru berisiko membuat mereka terbelenggu dalam dunia maya.

“Remaja itu harus punya keseimbangan antara kegiatan dengan menggunakan gadget dan kegiatan di luar sana, supaya dia tidak terbelenggu hanya dengan gadgetnya aja,” ujarnya kepada Republika.co.id pada Jumat (3/10/2025).

Baca Juga

Menurutnya, semakin banyak waktu dihabiskan sendirian dengan gawai, semakin besar kemungkinan remaja kehilangan kebutuhan untuk bersosialisasi. Karena itu peran orang tua sudah seharusnya muncul sejak anak masih kecil, agar stimulasi perkembangan tidak sepenuhnya bergantung pada gawai.

“Semua potensi yang diberikan Allah harus distimulasi sejak dini. Itu tidak bisa hanya lewat gadget. Anak perlu pengalaman konkret, tahu rasanya menang, kalah, diapresiasi, atau merasa malu. Itu semua didapat lewat interaksi langsung,” ujarnya.

Ia menegaskan, kesalahan banyak orang tua adalah terlalu dini mengenalkan gawai sebagai solusi praktis. Ia menyebutkan, orang tua sebaiknya mencari alternatif kegiatan lain yang menstimulasi anak, bukan langsung memberikan gawai setiap kali anak rewel.

“Ketika anak rewel kemudian anaknya dikasih gadget, tidak boleh seperti itu. Orang tua harus mencari alternatif kegiatan lain yang membuat anak tidak sulit diatur, tetapi tidak menggunakan gadgetnya,” ujarnya.

Ditekankan pula bahwa keluarga berperan sebagai teladan utama. Jika orang tua sendiri lebih banyak sibuk dengan gawainya, anak akan meniru perilaku tersebut. Alhasil, komunikasi dalam keluarga menjadi minim.

“Kalau di rumah orang tuanya juga sibuk dengan gadget, anak merasa tidak perlu ngobrol dengan bapak ibunya. Jadi, peran orang tua dan lingkungan sangat menentukan,” kata dia.

Terkait metode yang bisa diterapkan, Rose Mini menyebut langkah paling sederhana adalah melakukan “diet gadget”. Pembatasan yang dibuat orang tua diyakini dapat membantu anak menyadari bahwa tanpa gawai, mereka tetap bisa beraktivitas, bersosialisasi, dan menemukan kepuasan dari kegiatan nyata. Melalui penekanan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keseimbangan aktivitas, stimulasi yang tepat sejak dini, serta dukungan orang tua dan lingkungan menjadi kunci utama agar remaja tidak terjebak dalam kecanduan gawai.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Ameera Network (@ameeranetwork)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement